Ahad 15 Oct 2023 05:30 WIB

Netizen Israel Sebar Hasutan di Medsos untuk Membunuh Tokoh Palestina di Yerusalem Timur

Ada lebih dari 19.000 konten hasutan dalam bahasa Ibrani di platform medsos X.

Gambar ilustrasi menunjukkan pengguna memegang ponsel yang menampilkan logo platform media sosial X.
Foto: EPA-EFE/ETIENNE LAURENT
Gambar ilustrasi menunjukkan pengguna memegang ponsel yang menampilkan logo platform media sosial X.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSLAEM -- Warga Israel yang aktif di jaringan media sosial (medsos) mmenghasut untuk menargetkan dan membunuh para tokoh Palestina di Yerusalem Timur. Tak cukup dengan membunuh para tokoh tersebut, netizen juga menyerukan agar warga juga menyerang rumah para tokoh Palestina ini. 

Dilansir kantor berita WAFA, Sabtu (14/10/2023), untuk memudahkan aksi tersebut, bahkan lokasi rumah para aktivis Palestina di Yerusalem Timur ini juga dipublikasikan melalui aplikasi Google Maps. Di antara mereka yang terhasut adalah Khaled al-Muhtasib, yang terbunuh setelah diduga menembaki polisi Israel di Yerusalem dua hari lalu ketika foto rumahnya dan rumah warga Palestina lainnya yang dibunuh oleh pasukan Israel dipublikasikan.

Baca Juga

Warga Palestina mengungkapkan ketakutannya bahwa rumah dan keluarga mereka akan menjadi sasaran kejahatan penjajah, terutama mengingat hasutan terhadap mereka dan warga Palestina lainnya yang tinggal di wilayah pendudukan di Yerusalem.

Meskipun para penguasa media sosial menyensor konten Palestina dalam bahasa Arab dan Inggris atas tuduhan penghasutan atau pelanggaran kebijakan, orang-orang Israel yang melakukan hasutan di media sosial dalam bahasa Ibrani tidak disensor.

Lembaga pengawas media sosial di Palestina, Zamleh, menyatakan telah mendeteksi lebih dari 19.000 kasus ujaran kebencian dan konten hasutan dalam bahasa Ibrani di platform medsos X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter). Dikatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ada peningkatan signifikan dalam jenis konten ini sejak 7 Oktober, hari pertama agresi Israel di Jalur Gaza, dan jumlah postingannya terus meningkat. 

Kasus-kasus yang didokumentasikan mencakup berbagai bentuk konten berbahaya, dengan 50 persen dikategorikan sebagai ujaran kebencian, dan 30 persen dikategorikan sebagai berita palsu atau mendukung kekerasan dan hasutan. Selain itu, 48 persen dari twit tersebut bermotif politik, sementara 32 persen unggahan berisi bias rasial, dan sisanya juga memuat diskriminasi gender dan agama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement