Ahad 15 Oct 2023 07:30 WIB

Israel Ciptakan Gelombang Pengungsi Baru di Timur Tengah

Militer Israel memerintahkan warga meninggalkan wilayah Gaza utara dan Kota Gaza.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Penduduk Kota Gaza mulai mengungsi menyusul peringatan Israel akan peningkatan operasi militer di jalur Gaza, 14 Oktober 2023. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada 13 Oktober telah menyerukan evakuasi seluruh warga sipil di Gaza utara sebelum perkiraan lokasi. invasi.
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Penduduk Kota Gaza mulai mengungsi menyusul peringatan Israel akan peningkatan operasi militer di jalur Gaza, 14 Oktober 2023. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada 13 Oktober telah menyerukan evakuasi seluruh warga sipil di Gaza utara sebelum perkiraan lokasi. invasi.

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Pemerintah negara Timur Tengah memperingatkan setiap tindakan Israel untuk menciptakan pengungsian baru terhadap warga Palestina akan berdampak pada kawasan. Israel telah meminta warga Gaza bagian utara untuk berpindah ke Selatan dalam persiapan serangan darat ke wilayah tersebut.

Menteri Luar Negeri Yordania  Ayman Safadi mengatakan pada Sabtu (14/10/2023), tindakan itu akan mendorong kawasan itu ke jurang konflik regional yang lebih luas. Dia menegaskan, pemblokiran bantuan kemanusiaan oleh Israel ke Gaza dan memaksa penduduknya meninggalkan rumah mereka.

Baca Juga

“Perang ini membunuh dan membuat warga Palestina yang tidak bersalah menjadi pengungsi dan akan membuat kawasan dan dunia menghadapi dampak kehancuran dan keputusasaan yang akan diciptakan Israel di Gaza,” kata Safadi dalam komentarnya setelah bertemu dengan rekannya dari Kanada.

Dorongan Israel untuk memindahkan seluruh penduduknya meninggalkan rumah mereka adalah garis batas yang akan dihadapi oleh masyarakat Arab. Safadi mengatakan pemimpin Yordania juga menekankan penolakan negaranya untuk menerima pengungsian warga Palestina dari tanah mereka.

“Ini akan membawa kawasan ini ke dalam neraka perang… kita harus mengakhiri kegilaan ini,” ujar Safadi.

Tindakan Israel dalam meningkatkan aksi militernya merupakan pelanggaran yang mencolok terhadap hukum internasional. Safadi mengatakan, kampanye militer melawan Hamas membunuh warga sipil yang tidak bersalah dan akan membawa keputusasaan dan kehancuran yang tidak akan membawa keamanan bagi Israel.

“Hal ini tidak akan menghasilkan keamanan atau perdamaian,” kata Safadi dalam bahasa paling keras dari Yordania sejak perang yang pecah setelah serangan mengejutkan oleh Hamas pada 7 Oktober lalu.

Safadi menyatakan, berlanjutnya perang juga mengancam penyebarannya di bidang lain. Negara itu juga khawatir meluasnya kekerasan akan berdampak pada sebagian besar penduduk Yordania yang terdiri dari warga Palestina.

“Kekerasan akan melahirkan lebih banyak kekerasan dan kehancuran," ujar menteri luar negeri itu.

Raja Abdullah II menuju Eropa dalam meningkatkan upaya diplomatik yang dipimpin oleh kerajaan tersebut pada Sabtu. Menurut Safadi, kunjungan ini bertujuan untuk menggalang dukungan guna mengakhiri bencana kemanusiaan yang akan terjadi di Gaza dan mencegah kebakaran yang lebih luas.

“Kerajaan Arab Saudi menegaskan penolakannya terhadap seruan pengusiran paksa warga Palestina dari Gaza, dan kecamannya atas terus menerus menargetkan warga sipil tak berdaya di sana,” ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dikutip dari AlArabiyah.

Sedangkan Pemimpin Arab Saudi Raja Salman mengatakan kepada Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken di Amman sebelumnya, bahwa prioritasnya adalah melindungi warga sipil di kedua belah pihak. Dia akan memastikan Israel mengizinkan bantuan mendesak ke Gaza.

Menurut PBB, banyak orang tidak dapat dipindahkan dengan aman ke dalam wilayah kantong yang terkepung tersebut tanpa menimbulkan bencana kemanusiaan. Diperkirakan puluhan ribu warga Palestina menuju ke selatan dari Gaza utara setelah perintah Israel pada Jumat (13/10/2023). Tindakan itu menambah jumlah 400 ribu  warga Gaza yang sudah mengungsi pada awal pekan ini.

Satu-satunya jalan keluar dari Gaza yang tidak berada di bawah kendali Israel adalah pos pemeriksaan dengan Mesir di Rafah. Mesir secara resmi menyatakan wilayahnya terbuka, hanya saja lalu lintas telah dihentikan selama berhari-hari karena serangan Israel di wilayah Palestina.

Tapi sumber keamanan Mesir mengatakan, pihak Mesir sedang diperkuat. Kairo tidak berniat menerima gelombang besar pengungsi Palestina.

Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS mengatakan, negara itu sedang bekerja sama dengan para pejabat Mesir, Israel, dan Qatar untuk membuka penyeberangan pada Sabtu malam. Upaya itu untuk membiarkan beberapa warga AS yang berada di Gaza.

Pejabat tersebut menyatakan, 500-600 warga AS di Jalur Gaza telah meminta informasi untuk meninggalkan wilayah yang terkurung tersebut. Namun dia tidak mengetahui apakah warga negara asing lainnya bisa pergi.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement