Rabu 18 Oct 2023 22:52 WIB

Terjebak di Gaza, Warga AS Pendukung Joe Biden Ini Merasa Jadi Warga Negara Kelas Dua

Deplu AS mengatakan, keselamatan warga AS di luar negeri jadi prioritas utama.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Warga Palestina dengan kewarganegaraan ganda menunggu untuk melintasi perbatasan Rafah dengan Mesir, Jalur Gaza selatan, Senin (16/10/2023).
Foto: EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Warga Palestina dengan kewarganegaraan ganda menunggu untuk melintasi perbatasan Rafah dengan Mesir, Jalur Gaza selatan, Senin (16/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Saat serangan udara Israel menghantam gedung sebelah rumah tempatnya menginap di Gaza, Zakaria Alarayshi merasa seperti kematian sudah dekat. Alarayshi mengatakan, dia menangis ketakutan karena serangan udara Israel yang masif.

“Kami bingung dan berkumpul bersama. Itu adalah kematian. Anda merasa seperti Anda sudah mati karena ketakutan. Saya seorang pria dewasa, dan saya menangis karena ketakutan. Bayangkan apa yang dialami anak-anak. Kami tidak tahu harus berbuat apa,” kata Alarayshi kepada Aljazirah dalam wawancara telepon.

Baca Juga

Alarayshi dan istrinya Laila Alarayshi adalah dua dari ratusan warga Amerika Serikat yang terjebak di Jalur Gaza. Keluarga Alarayshi hanya berencana singgah di Gaza selama beberapa minggu untuk mengunjungi keluarga.

Kini, masa tinggal mereka tidak dapat ditentukan, karena perang yang sedang berlangsung membuat perjalanan menjadi berbahaya dan pembatasan di perbatasan telah membatasi pilihan mereka untuk melarikan diri.

Pekan lalu, pasangan yang tinggal di Livonia, Michigan itu mengajukan gugatan terhadap pemerintahan Presiden Joe Biden. Alarayshi mendesak pemerintah Amerika Serikat (AS) mengevakuasi warga AS dari wilayah Gaza yang terkepung.

Alarayshi, yang memilih Biden dalam pemilu 2020, mendesak presiden AS untuk memperlakukan semua orang Amerika secara setara, tidak peduli di sisi mana mereka berada di perbatasan Gaza. AS telah mengevakuasi ribuan warganya keluar dari Israel, termasuk dengan menggunakan kapal pesiar.

“Saya melakukan tiga pekerjaan. Saya membangun bisnis. Saya membayar pajak. Saya melakukan segalanya dengan benar untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi diri saya dan keluarga saya dan hidup terhormat. Tapi sekarang saya merasa seperti warga negara kelas dua. Presiden Biden harus menjaga semua orang,” kata Alarayshi.

Alarayshi dan istrinya tinggal di Khan Younis agar lebih dekat dengan penyeberangan Rafah. Dia berharap dapat menyeberang ke Mesir. Alarayshi telah mendekati perbatasan beberapa kali, namun warga AS belum mendapatkan jalur yang aman untuk menyeberang. Mereka tidak hanya menghadapi serangan udara setiap hari, namun situasi kemanusiaannya sangat buruk.

“Tidak ada kehidupan. Saya pergi ke toko; tidak ada yang bisa dimakan. Kami makan setiap 24 jam sekali. Kami mendapat kue. Kami mendapatkan sandwich dengan sepotong keju untuk dimakan. Kami biasa membeli air. Sekarang airnya tidak ada, jadi kami harus minum air asin. Saya menderita diabetes, hipertensi, dan kolesterol. Saya berada dalam kondisi yang mengerikan," ujar Alarayshi.

Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Rashida Tlaib, yang mewakili distrik Michigan, berbicara tentang penderitaan Alarayshi. Tlaib mengatakan, dia telah menelepon Alarayshi untuk memastikan agar dia dapat menyeberang ke perbatasan Mesir. Namun, setelah menunggu selama enam jam, Alarayshi tidak dapat menyeberang.

“Saya menelepon dia pada jam 1 pagi untuk memastikan dia bisa sampai ke perbatasan Mesir. Mereka menunggu di sana selama enam jam, dan tidak ada apa-apa,” kata Tlaib.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan, tidak ada prioritas yang lebih tinggi daripada keselamatan dan keamanan warga negara AS di luar negeri. Juru bicara Departemen Luar Negeri mengatakan, warga AS di Israel, Gaza dan Tepi Barat yang membutuhkan bantuan harus mengisi formulir penerimaan krisis di travel.state.gov.

“Kami akan terus memberikan informasi terkini kepada warga AS, termasuk bantuan keberangkatan, seiring tersedianya informasi," ujar pernyataan juru bicara tersebut.

Untuk saat ini, Alarayshi tidak yakin apakah mereka akan bertahan. Rumah tempat tinggal keluarga Alarayshi di Kota Gaza dibom setelah mereka meninggalkannya.

“Saat bom dijatuhkan, ia mengguncang seluruh lingkungan, dan suaranya membuat Anda melompat keluar dari tubuh Anda. Sangat buruk. Saya dan istri saya tidak yakin apakah kami akan berhasil keluar dari Khan Younis. Saya tidak tahu,” kata Alarayshi.

Nabih Ayad, seorang pengacara dan pendiri Arab American Civil Rights League (ACRL), sebuah kelompok advokasi berbasis di Michigan mengatakan, pemerintah AS memiliki kewajiban untuk melindungi warganya di luar negeri. Ayad mengakui bahwa situasi keamanan di Gaza sangat buruk. Namun ia mengatakan, AS memiliki pengaruh terhadap Israel dan Mesir, dua sekutu yang berbatasan dengan wilayah Palestina dan dapat membantu evakuasi.

“Fakta bahwa Anda mengevakuasi warga AS keturunan Israel tetapi bukan warga AS keturunan Palestina menimbulkan masalah. Sekali lagi, siapa yang melakukan pengeboman? Senjata apa yang mereka gunakan? Israel yang melakukan pengeboman, menggunakan senjata Amerika Serikat, dan mereka memiliki kendali atas semua perbatasan tersebut,” kata Ayad.

Israel telah memerintahkan lebih dari 1 juta warga Palestina untuk meninggalkan utara Gaza, namun hal ini tidak membuat wilayah selatan Jalur Gaza terhindar dari serangkaian pemboman. Serangan udara Israel telah menewaskan puluhan orang di kota selatan Khan Younis dan Rafah. Mariam Charara, direktur eksekutif ACRL, yang dekat dengan keluarga Alarayshi, menggambarkan mereka sebagai keluarga luar biasa yang mewujudkan impian Amerika.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement