REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Puluhan ribu orang turun ke jalan untuk menunjukkan dukungan ke rakyat Palestina pada 13 Oktober lalu. Jerman dan Prancis melarang aksi damai ini.
Dua negara yang merupakan tuan rumah komunitas muslim dan Yahudi terbesar di Eropa melarang kelompok-kelompok pro-Palestina menggelar aksi sejak Hamas menggelar serangan mendadak ke Israel pada 7 Oktober lalu.
Pemerintah dua negara mengatakan langkah ini untuk mencegah gangguan ketertiban umum dan anti-semitisme. Namun, pendukung Palestina mengatakan mereka dilarang mengekspresikan kekhawatiran mereka terhadap warga Gaza yang dibombardir Israel.
Kelompok pro-Palestina mengatakan mereka khawatir bila mengungkapkan pendapat mereka ditangkap atau status imigran mereka dicabut. Sejauh ini sudah 3.500 orang tewas di Gaza sejak Israel menggelar operasi serangan balasan, memberlakukan blokade yang mencegah makanan, bahan bakar dan obat-obatan masuk ke pemukiman tersebut sehingga menciptakan krisis kemanusian.
"Kami takut, kami khawatir dituduh membenarkan terorisme, padahal kami hanya ingin mendukung tujuan kemanusiaan," kata mahasiswa sejarah keturunan Prancis-Aljazair Messika Medjoub.
Perempuan berusia 20 tahun itu berbicara dalam demonstrasi yang dilarang di Paris pada Kamis (19/10/2023) kemarin. Polisi membubarkan demonstrasi itu gas air mata dan water canon.
Pekan lalu Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin memberlakukan larangan demonstrasi pro-Palestina. Ia berasalan langkah ini diambil untuk menurunkan resiko gangguan ketertiban umum. Sembilan demonstrasi telah dilarang di Paris sejak 7 Oktober.
Selama akhir pekan, polisi Paris mengeluarkan larangan terhadap "kehadiran dan peredaran orang-orang yang menampilkan diri mereka sebagai pro-Palestina". Sejak 12 Oktober, polisi telah mengeluarkan 827 surat tilang dan menangkap 43 orang.
Seorang juru bicara polisi Jerman mengatakan polisi Berlin menyetujui dua permohonan untuk melakukan protes pro-Palestina sejak serangan Hamas yang pertama. Keduanya diajukan sebagai aksi diam.
Namun sedikitnya tujuh aksi, termasuk satu aksi yang dinamakan Yahudi Berlin Menentang Kekerasan Timur Tengah dan aksi lainnya yang berjudul Pemuda Melawan Rasisme, ditolak izinnya. Sedikitnya 190 orang ditahan dalam aksi-aksi tersebut.
Pemerintah Prancis dan Jerman mengatakan mereka perlu melindungi komunitas Yahudi karena adanya peningkatan kekerasan antisemit sejak serangan Hamas. Uni Eropa dan beberapa negara lainnya mengganggap Hamas sebagai kelompok teroris.
Di Jerman, masalah ini sangat akut karena pembunuhan enam juta orang Yahudi Eropa dalam Holocaust oleh Nazi.
"Sejarah kami, tanggung jawab kami atas Holocaust menjadikannya tugas kami setiap saat untuk membela keberadaan dan keamanan Israel," kata Kanselir Olaf Scholz kepada para anggota legislatif pekan lalu.
Pada Selasa (17/10/2023) lalu Darmanin mengatakan sejak 7 Oktober lalu telah terjadi 327 tindakan antisemitisme di Prancis dengan 183 penangkapan atas tuduhan antisemitisme atau memberikan maaf pada terorisme.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan komunitas Yahudi harus dilindungi tetapi mereka khawatir protes yang sah sedang ditekan.
"Hukum hak asasi manusia tidak mengizinkan pemerintah secara luas mengatakan ada kekhawatiran akan kekerasan dan menggunakannya sebagai pembenaran untuk melarang protes," kata wakil direktur Human Rights Watch Benjamin Ward.
"Pertanyaannya adalah apakah itu proporsional - dan di situlah saya pikir ada kekhawatiran," tambahnya.
Hungaria dan Austria juga memblokir protes pro-Palestina sejak 7 Oktober. Sementara di negara-negara Eropa lainnya, unjuk rasa besar yang mendukung warga Palestina diselenggarakan dengan sedikit pembatasan.