REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Hamas disebut membuka peluang untuk membebaskan sekitar 50 warga asing berkewarganegaraan ganda yang telah ditahan sebagai sandera di Jalur Gaza. Hal itu disebutkan dalam laporan New York Times, mengutip seorang pejabat senior militer Israel.
Menurut surat kabar itu, pejabat senior militer Israel mengatakan informasi itu berdasarkan pembicaraan yang telah dilakukan Amerika Serikat dengan Qatar. Ada kemungkinan Hamas dapat membebaskan sekitar 50 orang berkewarganegaraan ganda yang terpisah dari kesepakatan yang lebih luas.
CNN melaporkan sebelumnya bahwa AS telah menekan Israel untuk menunda operasi daratnya di Gaza dan memastikan pembebasan para sandera. Tentara Israel mengatakan bahwa mereka memiliki informasi mengenai 222 orang yang disandera oleh Hamas.
Kementerian Luar Negeri Qatar mengatakan pada Sabtu 21 Oktober bahwa Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani, perdana menteri dan diplomat tertinggi Qatar, telah mengadakan panggilan telepon dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken. Keduanya mendiskusikan cara-cara membebaskan para sandera Hamas dari Gaza.
Kementerian tersebut mengatakan bahwa Sheikh Mohammed menegaskan koordinasi itu, berkelanjutan antara Negara Qatar dengan Amerika Serikat. Termasuk juga, dengan mitra internasional untuk membebaskan para tahanan dan mengurangi eskalasi di Jalur Gaza.
Ketegangan di Timur Tengah memuncak pada tanggal 7 Oktober ketika militan dari kelompok pejuang Palestina Hamas melancarkan serangan mendadak ke wilayah Israel dari Jalur Gaza. Gerakan Palestina ini menggambarkan serangannya sebagai respons terhadap tindakan agresif otoritas Israel terhadap Masjid Al-Aqsa di Temple Mount di Kota Tua Yerusalem.
Israel mengumumkan blokade total terhadap Gaza dan mulai melakukan serangan artileri dengan mengebom di daerah kantong Palestina tersebut. Hampir 5000 warga sipil tewas dan lebih dari 1,4 juta warga Gaza mengungsi akibat serangan Israel ini. Bentrokan juga terjadi di Tepi Barat, dan tak hanya itu Israel juga melakukan serangan ke daerah-daerah tertentu di Lebanon dan Suriah.