Kamis 26 Oct 2023 06:52 WIB

Dokter Gaza Berhasil Selamatkan Bayi dari Ibu yang Telah Meninggal karena Serangan Israel

Bayi itu berhasil diselamatkan melalui operasi caesar darurat.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Tim dokter Rumah Sakit Naser di Gaza berhasil menyelamatkan bayi dalam kandungan seorang ibu yang terbunuh akibat serangan udara Israel (foto ilustrasi)
Foto: AP Photo
Tim dokter Rumah Sakit Naser di Gaza berhasil menyelamatkan bayi dalam kandungan seorang ibu yang terbunuh akibat serangan udara Israel (foto ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Tim dokter Rumah Sakit Naser di Gaza berhasil menyelamatkan bayi dalam kandungan seorang ibu yang terbunuh akibat serangan udara Israel. Bayi itu telah diselamatkan melalui operasi caesar darurat.

Kantor berita WAFA melaporkan, operasi caesar darurat itu harus dilakukan karena usia kehamilan sang ibu, Raneem Hijazi sudah mendekati hari lahiran. Hijazi meninggal dunia akibat serangan udara Israel yang menargetkan wilayah Khan Younis di Gaza selatan.

Baca Juga

“Kami menghadapi kisah kemanusiaan yang tragis yang terulang di Jalur Gaza sebagai akibat dari pengeboman Israel," ujar Dr Asa’d Al-Nawajha, dari departemen perawatan di Rumah Sakit Naser.

Al-Nawajha menambahkan, sang ibu, Hijazi dilarikan ke RS Naser untuk menyelamatkan nyawa bayi tersebut. Tim dokter segera bertindak melakukan operasi caesar darurat. Setelah operasi berjalan dengan lancar, bayi itu dimasukkan ke dalam inkubator. Saat ini bayi tersebut dilaporkan dalam kondisi stabil.

Hijazi termasuk di antara hampir satu juta orang yang terpaksa mengungsi dari rumah mereka dan mencari perlindungan di wilayah selatan Jalur Gaza. Menurut laporan Kementerian Kesehatan, setidaknya 130 bayi prematur yang bergantung pada inkubator menghadapi risiko kematian karena persediaan bahan bakar dan listrik yang semakin menipis.

Israel telah melancarkan pengeboman tanpa henti di Jalur Gaza menyusul infiltrasi mengejutkan pejuang perlawanan Palestina ke kota-kota di Israel. Sejak infiltrasi pejuang Palestina, Israel langsung memutus aliran listrik, menghentikan pasokan air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya 50.000 wanita hamil di Gaza tidak dapat mengakses layanan kesehatan penting, dan sekitar 5.500 akan melahirkan dalam bulan mendatang. Setidaknya tujuh dari hampir 30 rumah sakit terpaksa ditutup karena kerusakan akibat serangan Israel yang tiada henti serta kurangnya listrik, air, dan pasokan lainnya. 

Para dokter di rumah sakit lainnya mengatakan mereka berada di ambang krisis. Sementara Badan PBB untuk Pengungsi Palestina pada Ahad (22/10/2023) mengatakan, mereka memiliki cukup bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan penting selama tiga hari.

“Dunia tidak bisa hanya melihat bayi-bayi ini terbunuh akibat pengepungan di Gaza. Kegagalan untuk bertindak berarti menghukum mati bayi-bayi ini,” kata Melanie Ward, kepala eksekutif kelompok bantuan Bantuan Medis untuk Palestina.

Tak satu pun dari 20 truk bantuan yang menyeberang ke Gaza pada Sabtu (21/10/2023) membawa muatan bahan bakar. Persediaan bahan bakar yang terbatas di Gaza dikirim ke generator rumah sakit.

Tujuh tanker mengambil bahan bakar dari depot PBB di sisi perbatasan Gaza, namun tidak diketahui apakah tanki itu ada yang ditujukan untuk rumah sakit. Juru bicara WHO, Tarik Jašarević mengatakan, 150.000 liter (40.000 galon) bahan bakar diperlukan untuk memberikan layanan dasar di lima rumah sakit utama di Gaza.

Koordinator medis untuk Doctors Without Borders di wilayah Palestina, Guillemette Thomas mengatakan, beberapa bayi bisa meninggal dalam beberapa jam. Sementara beberapa lainnya dapat meninggal dalam beberapa hari, jika mereka tidak menerima perawatan khusus dan pengobatan yang sangat mereka perlukan.

“Pastinya bayi-bayi ini berada dalam bahaya. Merawat bayi-bayi ini merupakan keadaan darurat yang nyata, sama halnya dengan keadaan darurat untuk merawat penduduk Gaza yang menderita akibat pemboman ini sejak dua minggu terakhir," ujar Thomas.

Thomas mengatakan,  Rumah Sakit al-Aqsa  harus merawat pasien di Gaza utara dan tengah sejak beberapa rumah sakit lainnya ditutup, sehingga memaksa rumah sakit tersebut untuk melipatgandakan kapasitas pasiennya.  Hal ini juga membebani keterbatasan listrik. Thomas mengatakan, banyak wanita yang telah melahirkan di sekolah-sekolah yang dikelola PBB. Sekolah itu menjadi tempat penampungan sementara bagi puluhan ribu pengungsi yang mencari perlindungan.

“Para wanita ini berada dalam bahaya, dan bayi-bayi mereka juga berada dalam bahaya saat ini. Itu adalah situasi yang sangat kritis," ujar Thomas.

Nisma al-Ayubi membawa putrinya yang baru lahir ke Rumah Sakit al-Aqsa dari Nuseirat, tempat dia baru-baru ini mengungsi dari Gaza utara. Bayi al-Ayubi menderita kekurangan oksigen dan rasa sakit yang luar biasa. Bayi perempuan itu lahir tiga hari lalu tetapi mengalami komplikasi. 

"Rumah sakit kekurangan persediaan. Kami khawatir jika situasinya memburuk, tidak akan ada lagi obat yang bisa menyembuhkan anak-anak kami," ujar al-Ayubi.

Di Rumah Sakit al-Awda, sebuah fasilitas swasta di Jabalia utara, hingga 50 bayi dilahirkan hampir setiap hari. Direktur rumah sakit, Ahmed Muhanna mengatakan, rumah sakit tersebut menerima perintah evakuasi dari militer Israel, namun mereka menolak dan tetap beroperasi.

“Situasinya tragis dalam segala hal. Kami mencatat defisit besar pada obat-obatan darurat dan anestesi, serta pasokan medis lainnya," ujar Muhanna.

Untuk menjatah persediaan yang semakin menipis, Muhanna mengatakan, semua operasi yang dijadwalkan telah dihentikan. Rumah sakit mengerahkan seluruh sumber daya untuk keadaan darurat dan persalinan. Sementara kasus neonatal yang kompleks dikirim ke Rumah Sakit al-Aqsa.

Al-Awda memiliki bahan bakar yang cukup untuk bertahan paling lama empat hari. “Kami telah mengimbau banyak lembaga internasional, Organisasi Kesehatan Dunia, untuk memasok bahan bakar ke rumah sakit, tetapi sejauh ini tidak berhasil,” kata Muhanna.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement