REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Sejak serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan yang menewaskan lebih dari 1.400 orang, para pemimpin Eropa berparade di Israel sebagai bentuk titik balik dukungan terhadap negara itu. Para kepala pemerintahan Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, Yunani, dan Italia bergantian berdiri di samping Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam beberapa hari terakhir.
“Ini pertama kalinya [Israel] mendapatkan dukungan Uni Eeropa. Ini adalah titik balik,” kata pakar hubungan internasional di Hellenic Foundation for European and Foreign Policy (ELIAMEP) George Tzogopoulos yang berbasis di Athena.
Pernyataan-pernyataan Eropa mengenai Israel biasanya bersifat hati-hati, mendesak solusi dua negara, dan menentang apa pun yang dapat meningkatkan serangan terhadap kedua pihak. Sejak 7 Oktober, sikap Eropa telah berubah.
“Di masa-masa sulit seperti ini, hanya ada satu tempat yang bisa kita tuju, di pihak Israel,” kata Kanselir Jerman Olaf Scholz saat berkunjung 10 hari setelah serangan Hamas.
Tapi kunjungan tersebut mewakili kalkulasi diplomatik yang lebih kompleks daripada yang terlihat dalam foto. Pada satu sisi, perjalanan ini menggarisbawahi adanya perubahan dalam kesiapan Eropa untuk secara terbuka mendukung Israel.
Sedangkan, sisi lain, kunjungan tersebut mencerminkan kegelisahan atas dampaknya terhadap keamanan regional dan ketakutan akan terjadinya krisis pengungsi lagi jika perang meningkat. Kondisi ini yang akhirnya membuat Eropa ingin agar Netanyahu berhati-hati saat melakukan serangan darat ke Gaza.
“Kami akan menghancurkan Hamas. Ini baru permulaan,” kata Perdana Menteri Benjamin Netanyahu seminggu setelah serangan itu ketika pasukan Israel membersihkan pejuang Hamas dari wilayah Israel dan mulai melancarkan serangan balasan dengan serangan awal ke Gaza.
Uni Eropa (UE) pertama kali mengancam akan menghentikan bantuan untuk Palestina. Meskipun pada akhirnya memutuskan untuk tidak melakukan pendekatan tersebut, meski ketua blok Ursula von der Leyen tetap tegas dalam mendukung Israel. Posisi Von der Leyen menuai kritik dari ratusan staf Uni Eropa.
“Saya pikir para pemimpin Barat menyatakan dukungan mereka yang mutlak, tulus, dan tidak menyesal terhadap perang Israel dengan Hamas,” profesor hubungan internasional di University of Piraeus Aristoteles Tziampiris dikutip dari Aljazirah.
Tziampiris mengatakan, tidak ada keraguan bahwa perang darat akan terjadi. “Pertanyaannya bukan apakah, tetapi kapan dan bagaimana,” katanya.
Di sinilah Eropa ingin mencoba mempengaruhi Israel. Setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, menurut Tziampiris, Eropa khawatir akan serangan di masa depan di Israel yang berpotensi menimbulkan efek limpahan di kawasan lain.
Dampak limpahan tersebut dapat mencakup serangan di Eropa, krisis pengungsi, atau keduanya. Hal ini pernah terjadi sebelumnya. Tiga serangan bunuh diri secara bersamaan di pinggiran utara Paris membunuh 130 orang pada November 2015. Kemudian diketahui bahwa dua penyerang telah memasuki Eropa melalui pulau Lesvos di Yunani sebagai pencari suaka.
“Negara-negara Eropa Selatan, seperti Italia dan Yunani, khawatir tentang konsekuensi perang regional yang lebih luas yang melibatkan Iran yang dapat menciptakan krisis pengungsi besar-besaran,” kata profesor senior keamanan internasional di King’s College London Emmanuel Karagiannis.
Namun, negara-negara Eropa dan Amerika juga ingin mengakhiri perseteruan lama. “Para pemimpin Amerika dan Eropa adalah pendukung kuat Abraham Accords yang menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab,” kata Karagiannis.
Karagiannis menyatakan, perang yang terjadi saat ini di Gaza membahayakan proses perdamaian yang sedang berlangsung di Timur Tengah. Terlebih, saat ini Barat perlu menghadapi Rusia di Ukraina dan menghalangi Cina atas Taiwan.
Keseimbangan yang dicari oleh Eropa tampaknya adalah penghancuran Hamas agar kebencian tidak tumbuh kembali dan mengarah pada siklus kekerasan baru. Para pemimpin UE telah menggabungkan solidaritas dengan nasihat untuk menunjukkan pengendalian diri dan rasa kemanusiaan.
“Korban sipil dan eskalasi regional harus dicegah. Hal ini membutuhkan pengendalian diri dari Israel ketika menggunakan kekuatan," ujar Perdana Menteri Belanda Mark Rutte setelah bertemu Netanyahu.
Belanda dan Inggris menyerukan “jeda kemanusiaan” untuk mengizinkan obat-obatan, makanan, dan bahan bakar masuk ke Gaza. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell menyerukan penghentian perang untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Para pemimpin UE juga tampaknya mengakui bahwa ketika perang berakhir, para pemimpin Israel dan Palestina perlu duduk bersama untuk melakukan perundingan agar bisa hidup berdampingan. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengulangi perlunya solusi dua negara.