REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Pengadilan tertinggi Australia membatalkan keputusan pemerintah untuk mencabut kewarganegaraan seorang pria yang didakwa pasal terorisme. Keputusan ini merupakan pukulan kedua di Pengadilan Tinggi terhadap undang-undang yang diperkenalkan hampir satu dekade lalu.
Undang-undang itu memungkinkan seorang menteri pemerintah untuk mencabut kewarganegaraan ganda dari kewarganegaraan Australia dengan alasan berhubungan dengan ekstremisme.
Keputusan ini juga mencegah pemerintah mendeportasi ulama kelahiran Aljazair, Abdul Benbrika, saat ia dibebaskan dari penjara, yang diperkirakan akan terjadi dalam beberapa minggu ke depan.
Dengan 6 banding 1 undang-undang yang memberikan kewenangan kepada menteri dalam negeri untuk mencabut kewarganegaraan dalam kasus-kasus seperti itu tidak konstitusional. Mayoritas hakim berpendapat menteri tersebut secara efektif menjalankan fungsi yudisial untuk menghukum pelaku kejahatan.
Perdana Menteri Anthony Albanese mengatakan bahwa pemerintahnya akan mengkaji keputusan tersebut sehubungan dengan undang-undang yang disahkan oleh pemerintah sebelumnya.
Pengacara konstitusional George Williams mengatakan bahwa ia tidak terkejut dengan hasil tersebut."Ini adalah pelanggaran mendasar terhadap pemisahan kekuasaan di Australia yang mengatakan bahwa yang memutuskan bersalah dan menentukan hukuman seharusnya dilakukan oleh pengadilan dan bukan oleh orang-orang di Parlemen," kata Williams seperti dikutip dari ABC News, Rabu (1/11/2023).
Williams mengatakan ia memahami Benbrika satu-satunya orang yang kehilangan kewarganegaraan di bawah klausul tertentu dalam undang-undang yang berkaitan dengan vonis atas pelanggaran terkait terorisme yang dihukum lebih dari tiga tahun penjara. Oleh karena itu, preseden tersebut tidak berlaku bagi orang lain yang kehilangan hak kewarganegaraan.
Pengadilan Tinggi tahun lalu membatalkan klausul terpisah dari undang-undang yang memungkinkan seorang warga negara ganda yang dipenjara di Suriah kehilangan kewarganegaraannya karena dicurigai sebagai pejuang kelompok ISIS.
Pada tahun 2020, Benbrika menjadi ekstremis pertama, yang terbukti atau diduga, yang kehilangan hak kewarganegaraannya saat masih berada di Australia. Pemerintah belum mengungkapkan berapa banyak yang telah terjadi.
Benbrika dihukum pada tahun 2008 atas tiga dakwaan terorisme yang terkait dengan rencana untuk menimbulkan korban massal di sebuah acara publik di Melbourne. Tidak ada serangan yang terjadi.
Dia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan akan dibebaskan pada tahun 2020. Namun, hukumannya diperpanjang tiga tahun di bawah undang-undang terbaru yang mengizinkan penahanan lanjutan bagi narapidana yang dihukum atau melakukan pelanggaran terorisme yang menurut hakim memiliki risiko yang tidak dapat diterima oleh masyarakat jika dibebaskan.
Pada tahun 2021, ia kalah dalam gugatan di Pengadilan Tinggi atas penahanannya yang berkelanjutan dengan keputusan 5-2.
Dia akan dikenakan perintah pengawasan yang diberlakukan pengadilan yang memungkinkan pengawasan ketat terhadap komunikasi, rekan, dan pergerakannya ketika dia dibebaskan sebelum akhir tahun.