Sabtu 04 Nov 2023 06:03 WIB

Warga Desa di Tepi Barat Semakin Terusir

Warga Palestina di Tepi Barat mendapat intimidasi dari pemukim dan militer Israel.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Warga Palestina memeriksa kerusakan menyusul serangan militer Israel di kota Jenin, Tepi Barat, Senin (30/10/2023).
Foto: EPA-EFE/ALAA BADARNEH
Warga Palestina memeriksa kerusakan menyusul serangan militer Israel di kota Jenin, Tepi Barat, Senin (30/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Warga Palestina di Khirbet Zanuta yang terletak di wilayah Perbukitan Hebron Selatan di Area C wilayah pendudukan Tepi Barat semakin terusir akibat ancaman pemukim dan keberadaan militer Israel. Kondisi ini mulai tidak terkendali sejak 7 Oktober 2023.

Khirbet Zanuta hanyalah desa Badui terbaru yang terhapus dari lanskap Tepi Barat. Menurut angka terbaru yang diberikan oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), setidaknya 864 warga Palestina, termasuk 333 anak-anak, terpaksa mengungsi akibat serangan pemukim Israel pada periode ini.

Baca Juga

Sebanyak 11 komunitas sepenuhnya diungsikan dan 11 komunitas lainnya setidaknya sebagian dipindahkan secara paksa. Hampir setengah dari setidaknya 186 insiden kekerasan pemukim yang mengakibatkan korban jiwa atau kerusakan properti terjadi di hadapan atau didukung oleh pasukan Israel. Pemukim telah menggunakan senjata di hampir sepertiga dari insiden ini.

Tingkat perpindahan ini belum pernah terlihat sejak ribuan warga Badui diusir dari wilayah semenanjung Sinai pada 1972 oleh Israel. Konsentrasi pengungsian paksa yang dimulai di daerah terpencil di timur Ramallah kini telah menyebar ke Perbukitan Hebron Selatan, berbatasan dengan perbatasan antara Tepi Barat bagian selatan dan wilayah Israel.

Berbeda dengan masyarakat yang mengungsi di wilayah timur Ramallah baru-baru ini, masyarakat di Perbukitan Hebron Selatan seringkali tinggal di tanah milik pribadi. Mereka memiliki jaringan lokal yang lebih erat, dengan ikatan dengan organisasi internasional dan kelompok solidaritas, sehingga lebih sulit bagi mereka untuk diusir dari propertinya.

Tapi serangan pemukim semakin meningkat dalam upaya untuk menghapus wilayah pedesaan tetapi penting secara strategis ini. Sejak perang dimulai, banyak tentara reguler Israel yang berpatroli di wilayah tersebut telah pergi ke Gaza, digantikan oleh pemukim dari pemukiman terdekat dan pemukiman liar yang berseragam.

Seperti yang dijelaskan oleh mantan komandan militer Israel dan salah satu pendiri perkumpulan veteran Breaking the Silence Yehuda Shaul, para pemukim ini berasal dari unit pertahanan regional lokal, biasanya tim respons pertama pemukiman.

“Ada pemukim yang, setengah tahun lalu, datang dan memukuli [warga Palestina] sebagai warga sipil, dan sekarang mereka berseragam [militer] dengan senjata, dan mereka datang untuk memukuli Anda,” kata Shaul.

“Dan Anda tidak tahu: apakah ini bagian dari tugas militer mereka? Atau apakah mereka hanya melakukannya di waktu luang?” ujarnya dikutip dari Aljazirah.

Para aktivis dan komunitas yang terkena dampak mengatakan, apa pun jawabannya, serangan-serangan ini berhasil mewujudkan tujuan lama para pemukim. “Selama bertahun-tahun, para pemukim telah menekan negara untuk mengusir warga Palestina dari Area C,” kata juru bicara desa Susiya dan peneliti lapangan South Hebron Hills untuk organisasi hak asasi manusia Israel B’Tselem Nasser Nawajeh.

Nawajeh menjelaskan, sekarang mereka hanya melakukannya sendiri. "Bahkan jika negara tidak mengirim mereka untuk melakukan hal tersebut, tentara dan pihak berwenang akan menutup mata dan bertindak seolah-olah hal itu tidak akan terjadi," ujarnya.

Di desa Jinba, para pemukim dengan paksa menurunkan pengeras suara masjid mereka. Di desa Um al-Khair, seorang pemukim berseragam melewati desa sambil mengarahkan senjatanya kepada siapa saja yang berani berada di jalan atau di balkon rumah, dan meminta mereka masuk ke dalam rumah.

Pada 27 Oktober, kata Nawajeh, dua pemukim berseragam militer menghentikan sebuah mobil yang penuh dengan warga Palestina di Um al-Khair. Orang itu memaksa mereka keluar dari mobil, dan menembak mesin mobil serta jendelanya.

Tiga hari kemudian, para pemukim kembali ke desa, mengumpulkan semua pria di bawah todongan senjata, memaksa mereka berdiri di sepanjang tembok dan memeriksa telepon genggam. Ketika mereka melihat foto seorang polisi Palestina berseragam dan bersenjata, mereka menyerangnya.

Pada 28 Oktober, desa Badui Susiya, kurang dari satu kilometer dari Jalur Hijau, diserang. Para pemukim mengatakan kepada penduduk desa bahwa mereka harus pergi dalam waktu 24 jam, atau mereka akan dibunuh.

“Mereka pada dasarnya datang, menyerang, menyerang, dan ketika Anda mencoba berbicara dengan mereka, mereka menyuruh Anda tutup mulut. Lalu, sebelum mereka pergi, mereka memberimu ultimatum," kata Nawajeh.

Meskipun ada serangan dan ancaman, penduduk desa Susiya mengatakan mereka akan tetap tinggal di tanahnya. Desa ini telah berkembang selama bertahun-tahun menjadi simbol “sumud” atau ketabahan. Mereka menghadapi serangan fisik terhadap diri mereka sendiri, rumah, sumber air, ternak dan pertanian dari para pemukim. Namun mereka menolak untuk pindah.

“Satu-satunya cara untuk menghentikan pemindahan paksa di Tepi Barat adalah intervensi yang jelas, kuat dan langsung dari komunitas internasional," ujar lembaga masyarakat tersebut menyimpulkan.

Sejauh ini, tampaknya belum ada intervensi seperti itu yang akan dilakukan. Meski begitu, ultimatum 24 jam telah berlalu, dan Susiya masih bertahan. Beberapa aktivis Israel tetap tinggal bersama komunitas tersebut untuk memberikan perlindungan dan dukungan, meskipun mereka tidak mungkin mampu melawan secara fisik para pemukim yang bersenjata lengkap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement