REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken melakukan kunjungan yang tak diumumkan ke Tepi Barat, Ahad (5/11/2023). Dia menggelar pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Ramallah. Itu merupakan pertemuan keduanya dengan Abbas sejak peperangan di Jalur Gaza pecah pada 7 Oktober 2023 lalu.
Departemen Luar Negeri (Deplu) AS mengungkapkan, dalam pertemuan dengan Abbas, topik utama yang dibahas Blinken adalah tentang perkembangan situasi di Jalur Gaza. Blinken menyampaikan kepada Abbas, AS sepakat dengan pandangan bahwa warga Palestina di Gaza tak boleh dipindahkan secara paksa. Sebelumnya Israel sempat dilaporkan berencana mengusir seluruh warga Gaza ke wilayah Sinai, Mesir.
Sementara Abbas menyampaikan pernyataan tajam terkait kebrutalan agresi Israel di Gaza yang sejauh ini sudah memakan lebih dari 9.700 korban jiwa. “Saya tidak punya kata-kata untuk menggambarkan genosida dan kehancuran yang diderita rakyat Palestina di Gaza akibat mesin perang Israel, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip hukum internasional,” kata Abbas kepada Blinken, dikutip laman Al Arabiya.
Saat ini AS masih mendukung perang Israel di Jalur Gaza. Sama seperti Israel, Washington turut menolak penerapan gencatan senjata di Gaza karena dianggap bakal menguntungkan kelompok Hamas. Blinken telah menyampaikan Otoritas Palestina, yang saat ini memerintah di Tepi Barat, adalah pilihan tepat untuk menjalankan pemerintahan di Gaza.
Namun Blinken mengakui, jika nanti perang di Gaza usai, negara-negara lain dan badan-badan internasional kemungkinan akan memainkan peran dalam keamanan serta pemerintahan untuk sementara waktu. Mahmoud Abbas, yang kini sudah berusia 87 tahun, mengatakan, Otoritas Palestina dapat memerintah di Jalur Gaza hanya jika solusi politik komprehensif untuk konflik Israel-Palestina bisa ditemukan.
Dua faksi besar Palestina, yakni Hamas dan Fatah, telah terlibat perselisihan selama belasan tahun. Perselisihan dipicu oleh kemenangan Hamas dalam pemilihan umum tahun 2006.
Hamas memenangkan pemilu, tapi Fatah dan masyarakat internasional menolaknya. Pada Juni 2007, Hamas mulai mengendalikan dan mengontrol pemerintahan di Jalur Gaza. Sementara Fatah dengan Otoritas Palestina-nya menjalankan pemerintahan di Tepi Barat.
Beberapa upaya rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah sempat dilakukan. Namun upaya tersebut gagal karena Hamas selalu mengajukan syarat-syarat tertentu kepada Otoritas Palestina bila hendak berdamai. Pada Oktober 2017, Hamas dan Fatah menandatangani sebuah kesepakatan rekonsiliasi di Kairo, Mesir. Penandatanganan kesepakatan itu menjadi simbol keinginan kedua faksi untuk berdamai setelah 10 tahun berselisih.
Setelah 10 tahun berlalu, Hamas akhirnya menyatakan kesiapannya untuk memulihkan hubungan dengan Fatah tanpa prasyarat apa pun. Mereka bahkan membubarkan komite administratif yang sebelumnya bertugas untuk mengelola pemerintahan di Jalur Gaza. Hal itu dilakukan agar Otoritas Palestina dapat mengambil alih tugas pemerintahan di daerah yang diblokade tersebut.
Namun rekonsiliasi tetap masih mengalami kebuntuan. Hingga saat ini Hamas masih mengontrol Jalur Gaza, sedangkan Fatah menjalankan pemerintahan di Tepi Barat.