Selasa 14 Nov 2023 13:11 WIB

Embargo Minyak Pernah Dilakukan Saudi di 1973 terhadap Israel, Akankah Terulang?

Embargo itu sebagai pembalasan atas dukungan AS dan sekutunya terhadap Israel

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Petugas berjalan di depan kantor Saudi Aramco di Jiddah, Arab Saudi, Ahas (3/11). Perusahaan minyak milik pemerintah Arab Saudi. Aramco akan melepas sebagian saham ke publik dan disebut-sebut sebagai IPO terbesar di dunia.
Foto: AP Photo/Amr Nabil
Petugas berjalan di depan kantor Saudi Aramco di Jiddah, Arab Saudi, Ahas (3/11). Perusahaan minyak milik pemerintah Arab Saudi. Aramco akan melepas sebagian saham ke publik dan disebut-sebut sebagai IPO terbesar di dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lima puluh tahun yang lalu, perang di Timur Tengah memicu embargo minyak yang menaikkan harga minyak hingga empat kali lipat dan mengakibatkan kekurangan gas, penjatahan, dan stagflasi. Selama Perang Arab-Israel tahun 1973 atau dikenal sebagai Perang Yom Kippur, negara-negara Arab bekerja sama dan melakukan embargo minyak dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya.

Pada 1970-an, anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) Arab memberlakukan embargo terhadap Amerika Serikat sebagai pembalasan atas dukungan AS dan beberapa sekutunya terhadap Israel. Embargo tersebut melarang ekspor minyak bumi dan mengurangi produksi minyak.

Baca Juga

Akibat embargo dan faktor lainnya, harga minyak per barel naik dua kali lipat, lalu naik empat kali lipat. Embargo juga menyebabkan kekurangan gas,  penjatahan, dan periode pertumbuhan ekonomi yang stagnan dengan inflasi yang tinggi dan pengangguran yang meroket.

Seorang profesor di bidang politik dan hubungan internasional di kampus Northeastern di London, Pablo Calderón-Martínez mengatakan, kondisi saat ini terutama dengan perang Israel-Hamas yang meletus di Gaza berbeda dengan situasi pada 1970an.

“Saya pikir kita berada di tempat yang sangat berbeda dibandingkan pada 1970an. Kita masih jauh dari hal itu. Jadi, menurut saya ketersediaan minyak tidak akan berkurang," kata Calderón-Martínez, dilansir Northeastern Global News.

Namun, Calderón-Martínez menekankan, meskipun saat ini tidak terjadi lonjakan harga minyak, eskalasi perang Israel-Hamas dapat menyebabkan kenaikan harga. "Saya rasa ketakutannya adalah jika perang meningkat dan menjadi konflik yang berkepanjangan, konflik yang tidak dapat dikendalikan dan melibatkan negara-negara lain di kawasan ini, maka akan terjadi masalah pasokan minyak yang nyata. Khususnya jika AS terlibat dalam konflik, Eropa terlibat dalam konflik, Iran terlibat dalam konflik,” kata Calderón-Martínez.

Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan harga minyak melonjak ke level tertinggi dalam 14 tahun sebesar 140 dolar AS per barel. Ditambah dengan rendahnya Cadangan Minyak Strategis setelah Amerika Serikat menjual 180 juta barel untuk membantu menstabilkan pasar minyak dan memerangi harga minyak yang tinggi setelah invasi.

Calderón-Martínez mengatkan, ada beberapa perbedaan antara saat ini dan 1970an. Amerika Serikat menanggapi embargo 1973 dengan beberapa langkah untuk mengurangi ketergantungan pada minyak asing. Mulai dari peningkatan produksi dalam negeri hingga standar penghematan bahan bakar dan Cadangan Minyak Strategis.

Kini, Amerika Serikat menjadi produsen minyak terbesar dunia. Selain itu, AS menjadi eksportir minyak bersih, yang berarti AS mengekspor lebih banyak minyak daripada mengimpornya pada tahun 2020.

“Negara ini juga mempunyai banyak sumber daya, mitra untuk membeli minyak, dan banyak dari mereka juga berada di Amerika,” kata Calderón-Martínez.

Dilansir National Public Radio (NPR), langkah produsen minyak Arab menghentikan ekspor ke AS pada 1973 menyebabkan melonjaknya harga bahan bakar dan antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar. Hal ini juga berkontribusi terhadap kemerosotan ekonomi besar-besaran di AS.

Embargo tersebut membuat AS merasa sangat bergantung pada minyak Timur Tengah. Hal ini menyebabkan AS turut ikut campur menyelesaikan ketidakstabilan di kawasan tersebut dengan perang dan intervensi militer.

“Krisis minyak memicu pergolakan dalam politik global dan perekonomian dunia. Hal ini juga menantang posisi Amerika di dunia, mempolarisasi politiknya di dalam negeri dan menggoyahkan kepercayaan negara,” ujar penulis dan analis minyak, Daniel Yergin dalam sebuah opini di Wall Street Journal.

Meskipun kekhawatiran ini masih ada, pasar energi dunia telah berubah secara dramatis selama empat dekade terakhir. Produksi energi AS meningkat, dan kurang dari 10 persen minyak AS berasal dari Timur Tengah dengan harga global relatif stabil.

Semua ini telah memicu perdebatan mengenai apakah AS terlalu fokus pada Timur Tengah dan minyaknya padahal hal ini tampaknya tidak menimbulkan banyak ancaman ekonomi bagi Amerika. Arab Saudi adalah pendukung utama embargo tahun 1973. Bagi banyak orang Amerika, Arab Saudi adalah simbol monarki Arab yang kaya dan telah memberikan banyak penderitaan bagi AS.

Kini, Saudi adalah salah satu sekutu terdekat AS

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement