Selasa 14 Nov 2023 13:11 WIB

Embargo Minyak Pernah Dilakukan Saudi di 1973 terhadap Israel, Akankah Terulang?

Embargo itu sebagai pembalasan atas dukungan AS dan sekutunya terhadap Israel

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Petugas berjalan di depan kantor Saudi Aramco di Jiddah, Arab Saudi, Ahas (3/11). Perusahaan minyak milik pemerintah Arab Saudi. Aramco akan melepas sebagian saham ke publik dan disebut-sebut sebagai IPO terbesar di dunia.
Foto:

Namun saat ini, Arab Saudi adalah salah satu sekutu terdekat AS di kawasan. Saudi saat ini memompa minyak dalam jumlah besar untuk menjaga pasar dunia, dan mengimbangi produksi yang lebih rendah di negara-negara seperti Irak, Iran dan Nigeria.

Iran dan AS adalah sekutu. Di bawah kepemimpinan Syah, Mohammad Reza Pahlavi, Iran terus memproduksi dan mengekspor selama enam bulan embargo yang berlangsung hingga Maret 1974. Setelah Syah digulingkan pada 1979, AS dan Iran menjadi saingan berat. Iran kini menjadi sasaran sanksi Barat yang mulai berlaku tahun lalu dan telah memangkas setengah ekspor minyak ke Teheran dari 2,5 juta barel per hari menjadi sekitar 1,2 juta barel.

Menanggapi guncangan minyak, Kongres AS mengesahkan standar penghematan bahan bakar. Peraturan tahun 1975 tersebut mengharuskan para pembuat mobil untuk menaikkan jarak tempuh dari 13,5 mil per galon menjadi 27 mil per galon. Tahun lalu, standarnya kembali ditingkatkan dua kali lipat, dan kendaraan harus rata-rata mencapai 54 mil per galon pada 2025. Akibatnya, masyarakat Amerika lebih banyak mengemudi tanpa menambah jumlah bahan bakar yang mereka gunakan.

Melonjaknya harga minyak mengubah industri energi global. Ketika harga minyak meroket pada 1970-an, para produsen bersedia melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang lebih terpencil dan sulit untuk melakukan pengeboran, termasuk Alaska, Laut Utara, Teluk Meksiko, dan wilayah pasir minyak Kanada. Produksi minyak dunia saat ini 50 persen lebih tinggi dibandingkan pada tahun 1973. Selain itu, krisis ini mendorong upaya untuk mencari dan mengembangkan sumber energi lain, mulai dari gas alam, angin, hingga surya.

Saat ini AS tidak terlalu bergantung pada Timur Tengah. Pada tahun-tahun setelah embargo tahun 1973, penghentian produksi minyak di Timur Tengah dianggap sebagai ancaman nasional yang serius.

“Upaya kekuatan luar untuk menguasai kawasan Teluk Persia akan dianggap sebagai serangan terhadap kepentingan vital Amerika Serikat. Serangan semacam itu akan dihalau dengan cara apa pun yang diperlukan, termasuk kekuatan militer," ujar Yergin.

Minyak Timur Tengah tidak pernah menjadi bagian besar dari keseluruhan pasokan AS. Impor dari Timur Tengah tidak pernah menyumbang lebih dari 15 persen pasokan minyak AS dan kini jumlahnya hanya sekitar 9 persen.

AS kini mengimpor lebih banyak minyak dari Kanada dibandingkan negara lain. Arab Saudi adalah satu-satunya negara Timur Tengah di antara lima negara teratas yang mengirim minyak ke Amerika.

Dengan membatasi pasokan, OPEC mampu menyebabkan lonjakan harga minyak pada tahun 1970an dan 80an. Namun kekuatan mereka saat ini jauh lebih kecil, dan sejumlah produsen utama, seperti Arab Saudi, berupaya menstabilkan harga dibandingkan mengganggu pasar.

"Selama empat dekade terakhir, kebijakan energi Washington didasarkan pada kesimpulan yang salah bahwa negara tersebut dapat menyelesaikan semua permasalahan energinya dengan mengurangi ketergantungannya pada minyak Timur Tengah,” ujar Gal Luft dan Anne Korin dalam artikel di Foreign Affairs.

“Inti dari kerentanan energi Amerika Serikat adalah ketidakmampuannya menjaga harga minyak tetap terkendali, mengingat cengkeraman kerajaan minyak Arab terhadap pasokan minyak global,” kata Luft dan Korin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement