REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Ada hal yang meresahkan bagi Ranin Odeh selama sesi kegiatan yang dilakukan untuk anak-anak di Freedom Theatre di kamp Jenin di Tepi Barat. Permainan mereka sering kali berubah menjadi kekerasan karena anak-anak sering kali menjadi terlalu kasar dan bahkan saling memukul.
Odeh melihat, sikap tersebut merupakan respons trauma yang khas. “Mereka tidak mengerti mengapa mereka melakukannya, tapi saya mengerti," ujarnya.
Perempuan itu sering melihat anak-anak mengatasi trauma serangan Israel ke kamp melalui permainan kekerasan. Dia tidak mengizinkan permainan semacam itu terjadi di lingkungannya. Odeh memilih menawarkan aktivitas budaya dan seni sebagai cara alternatif untuk memfokuskan ketakutan dan kemarahan anak-anak.
Dengan rambut hitam pendek dan penampilan yang ramah, sosok berusia 30 tahun ini memiliki kecerahan dan energi seperti anak muda. Penampilan tangguh dari seseorang yang telah melihat dan menjalani banyak hal.
Pekerjaan Odeh sangat penting baginya sebagai seseorang yang mengingat masa kecilnya saat Intifadhah kedua. Dia sangat memahami kebutuhan anak-anak untuk pulih dari trauma melalui seni dan permainan.
Anak-anak membutuhkan ruang aman dengan mereka dapat merasa nyaman. “Mereka membutuhkan tempat di mana mereka bisa terbang," ujar Odeh.
Kehidupan anak-anak di Jenin sungguh traumatis. Suatu hari, anak-anak bersenang-senang dengan aktivitas di Freedom Theatre, dan hari berikutnya, terjadi serangan bersenjata oleh pasukan Israel di kamp tersebut. Peristiwa ini semakin sering terjadi sejak dimulainya perang Israel di Gaza pada 7 Oktober.
Freedom Theatre sendiri tidak asing dengan bahaya dan kekerasan. Awalnya bernama Stone Theatre yang didirikan pada 1987 setelah Intifada pertama oleh Arna Mer-Khamis, seorang aktivis Israel yang meninggal pada 1995.
Mer-Khamis dilahirkan dalam keluarga Yahudi pada 1929 dan menjadi pendukung hak asasi manusia warga Palestina, khususnya anak-anak. Dengan teater itu, dia berharap dapat memberikan anak-anak ruang untuk penyembuhan dan memberdayakan perempuan melalui teater dan seni.
Bangunan pertama yang menjadi tempat teater dihancurkan pada 2002 oleh pasukan Israel selama Intifada kedua. Pada 2006, Juliano Mer-Khamis, putra Arna dari suaminya yang beragama Kristen Palestina, Saliba Khamis, membuka kembali teater tersebut di lokasi baru di Jenin, yang juga berfungsi sebagai pusat komunitas.
Tapi, tidak semua orang mendukungnya. Pada 2009, orang tak dikenal melemparkan dua bom molotov ke teater saat teater sedang kosong. Juliano ditembak mati oleh penyerang bertopeng di Jenin pada 2011 pada usia 52 tahun. Pembunuhannya tidak pernah terpecahkan.
Sangat sulit untuk mengatur program reguler....