Tekanan migrasi mendorong negara-negara demokrasi untuk meninggalkan sebagian komitmen demokrasi yang memberikan hak kepada pencari suaka untuk mencari perlindungan. Kondisi itu memperlihatkan kerapuhan sistem demokrasi.
Eropa berada di bawah tekanan migrasi yang besar selama bertahun-tahun. Hal ini memicu reaksi keras di banyak tempat terhadap migran yang juga memperkuat partai-partai sayap kanan.
Kasus terbaru terjadi di Belanda, dengan politisi anti-Islam Geert Wilders meraih kemenangan dalam pemilu minggu ini. Sedangkan Polandia, krisis perbatasan memperdalam perpecahan sosial yang sudah ada sebelumnya.
Kondisi ini mempertemukan kelompok yang menginginkan sikap tegas terhadap migrasi melawan kelompok yang lebih memilih pendekatan yang lebih menerima migran dan pengungsi. Pemerintah menuduh kelompok yang memihak migran tanpa disadari membantu kekuatan asing yang bermusuhan.
Tembok dan penghalang baru kini melintasi Eropa sebagai akibat dari migrasi dan agresi Rusia. Namun mereka tidak sepenuhnya berfungsi. Penjaga Perbatasan Polandia telah mendeteksi 25.500 upaya tahun ini untuk melewati perbatasan secara ilegal dari Belarusia, tempat tembok baja besar selesai dibangun tahun lalu.
DEBAT DI DALAM FINLANDIA DAN PERLINDUNGAN ARKTIK
Masyarakat Finlandia kini memperdebatkan apakah keamanan nasional merupakan prioritas mutlak bagi pemerintahan negara berpenduduk 5,6 juta jiwa. Berdasarkan perjanjian dan perjanjian internasional yang dihargai di negara-negara Nordik, setidaknya satu pos pemeriksaan di perbatasan suatu negara harus tetap terbuka bagi pencari suaka.
Pemerintahan Orpo memutuskan untuk mematuhi hal ini dengan membiarkan pos pemeriksaan Raja-Jooseppi di utara Arktik tetap terbuka. Ini adalah titik perbatasan Finlandia-Rusia paling utara yang terletak di tengah hutan belantara di wilayah Lapland, sekitar 250 kilometer dari kota Murmansk di Arktik, Rusia.
Meskipun lokasinya terpencil, sekitar 55 migran tiba di pos pemeriksaan pada Sabtu (25/11/2023). Jumlah tersebut lebih banyak dari biasanya.