REPUBLIKA.CO.ID, KHAN YOUNIS -- Di Rumah Sakit Nasser di Gaza selatan, pada Jumat (1/12/2023), seorang pria yang menggendong seorang anak laki-laki dengan kulit kepala berlumuran darah berteriak minta tolong. Tak berselang lama, seorang anak perempuan yang tiba dengan ambulans bersama seorang pria yang tidak sadarkan diri dan kehilangan bagian atas kaki kirinya, terisak-isak ketika seorang petugas medis memeriksa matanya.
Seorang anak laki-laki yang linglung, wajahnya berlumuran darah, menunggu perawatan. Hampir dua jam setelah berakhirnya gencatan senjata selama seminggu antara Israel dan kelompok Palestina Hamas, kementerian kesehatan Gaza yang dikendalikan Hamas melaporkan bahwa 32 orang telah tewas dalam serangan udara Israel.
Rekaman Reuters dari Rumah Sakit Nasser, rumah sakit terbesar kedua di jalur Gaza, menunjukkan aliran anak-anak dan orang dewasa yang terluka dibawa masuk. Sementara orang-orang lain menangis di luar di samping mayat-mayat orang yang mereka cintai yang terbunuh dalam serangan.
Kelompok-kelompok bantuan dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan hanya sebagian kecil fasilitas kesehatan di daerah kantong yang hancur itu yang masih berfungsi. Dan mereka tidak dalam kondisi siap untuk menangani gelombang korban baru.
"Rumah sakit di seluruh Gaza kekurangan pasokan dasar, staf dan bahan bakar untuk memberikan pelayanan kesehatan primer pada skala yang dibutuhkan, apalagi untuk menangani kasus-kasus yang mendesak dengan aman," ujar Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pada hari Kamis (30/11/2023).
Gaza memiliki 2,3 juta penduduk sebelum Israel memulai pengeboman dan invasi darat dilancarkan. Serangan itu sebagai tanggapan atas serangan Hamas pada 7 Oktober, ketika Israel mengatakan bahwa serangan di Israel bersenjata menewaskan 1.200 orang dan menyandera 240 orang.
Otoritas kesehatan Palestina yang dianggap kredibel oleh PBB mengatakan bahwa lebih dari 15.000 warga Gaza telah dikonfirmasi tewas dan ribuan lainnya hilang dan dikhawatirkan terkubur di bawah reruntuhan. PBB mengatakan sebanyak 80 persen dari populasi mungkin telah diusir dari rumah mereka.
"Sistem kesehatan Gaza telah lumpuh akibat permusuhan yang sedang berlangsung," kata Dr Richard Peeperkorn, perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Gaza.
"Kita tidak boleh kehilangan rumah sakit atau tempat tidur rumah sakit lagi," katanya kepada para wartawan melalui sambungan video. "Kami sangat prihatin dengan kembalinya kekerasan."