REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Ibu enam anak bernama Saat Imtithal harus menyalakan api dari kayu untuk membuat roti bagi keluarganya. Ketika memasak, pikiran membawanya kembali ke rutinitas pagi yang biasa dilakukan di rumah saaat berada di Tal al-Hawa di Gaza bagian barat. sebelum 7 Oktober 2023.
Imtithal dan keluarganya terpaksa mengungsi ke kamp Maghazi di tengah Jalur Gaza setelah pasukan Israel memerintahkan warga sipil. Tentara mengevakuasi Gaza utara dan pindah ke selatan pada hari-hari awal perang.
Perintah itu membuat Imtithal dan keluarganya melihat adanya bahaya besar bahwa pemboman Israel dapat menyapu bersih seluruh wilayah di utara dan barat Gaza. Dia bersyukur mereka segera mengungsi. Segera setelah pergi, rumah mereka rusak parah akibat pemboman di lingkungannya.
“Rumah saya rusak parah akibat pemboman Israel yang kejam di sebelahnya, Tetangga kami, Saleem, yang bekerja untuk Bulan Sabit Merah Palestina, mengirimi saya video yang menunjukkan tingkat kerusakan yang menimpa rumah saya. Saya merasa sangat sedih dan tidak tahu apakah bangunan tersebut layak untuk dihuni setelah hari ini atau tidak," kata Imtithal dikutip dari Aljazirah.
Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, Imtithal merasa terhibur dengan kenangan akan rutinitas normal yang aman sebelum perang dimulai. Dia akan bangun subuh untuk shalat Subuh, kemudian membangunkan anak-anak yang lebih kecil, Hammoud berusia 13 tahun dan Nour berusia 16 tahun untuk bersiap-siap ke sekolah.
“Saya selalu menikmati membuat kotak sarapan dan makan siang mereka. Saya akan memastikan saya memasukkan makanan favorit mereka di sana,” ujar Imtithal mengenang.
Pekerjaan pagi ini masih jauh dari selesai. “Kalau begitu, sudah waktunya suami dan putra sulung saya berangkat kerja. Saya membuatkan kopi untuk mereka, tapi putri saya, Aseel, menyukai jus segar, jadi saya membuatkannya juga sambil membicarakan rencana saya hari ini," kata Imtithal.
Setelah mereka semua sarapan, siap berangkat, dan akhirnya keluar dari rumah, itulah waktu bagi Imtithal. “Saya pergi ke gym dan menghabiskan sekitar dua jam berolahraga bersama teman-teman,” katanya.
Setelah itu, Imtithal akan pulang untuk minum sesuatu yang hangat bersama tetangganya, Sarah. Dia pun tidak lupa menyiapkan makan siang, menghabiskan sedikit waktu membaca buku-buku tentang ilmu-ilmu Alquran, dan mengikuti pelajaran agama melalui akademi yang diikuti melalui Zoom. Akhirnya, tiba saatnya kekacauan keluarga yang sudah biasa terjadi dimulai lagi.
“Setelah anak-anak saya kembali dari sekolah dan bekerja, saya menghabiskan waktu berkualitas bersama mereka, mendengarkan cerita mereka, menindaklanjuti tugas sekolah dengan putra saya, Hammoud, dan kemudian mempersiapkannya untuk pergi ke klub tinju, tempat ia menghabiskan waktu dengan senang hati," ujar Imtithal.
Imtithal biasa menelepon putranya Adham yang tinggal di Amerika Serikat setiap hari untuk menanyakan kabarnya juga. Namun, sejak pengeboman dimulai, dia tidak bisa banyak berkomunikasi dengannya.
Blokade Israel terhadap bahan bakar menyebabkan listrik dan internet sangat dibatasi, bahkan tidak ada di Jalur Gaza. Dia hampir tidak punya waktu beberapa menit bersama anaknya yang jauh itu di telepon setiap beberapa hari.
Dulu, rutinitas yang monoton merupakan bagian dari kesehariannya yang normal, terkadang bahkan biasa-biasa saja. Namun justru inilah hal-hal yang menurut Imtithal dia rindukan saat ini.
“Saya rindu berada di rumah dan dengan tenang mempraktikkan rutinitas sederhana sehari-hari saya. Tugas rumah tangga sehari-hari tidak sesulit sekarang. Sekarang, saya mencuci cucian dalam ember dengan jumlah air yang sangat sedikit jika dulu saya menggunakan mesin cuci otomatis. Saya juga kesulitan menyiapkan makanan karena kurangnya gas untuk memasak, jadi kami terpaksa memasak makanan di atas api kayu sekarang," ujar Imtithal.
Menurut Imtithal, situasi di Gaza saat ini sangat tragis. Dia mengaku tidak dapat berkomunikasi dengan saudara perempuan dan tidak dapat mengunjungi mereka.
"Saya selalu pergi jalan-jalan bersama mereka. Bahkan tempat hiburan yang biasa kami kunjungi semuanya telah dibom," kata Imtithal.
Imtithal sangat mengkhawatirkan keluarga dan teman-temannya yang terpisah dari komunitasnya. Terlebih lagi, pesawat-pesawat Israel mengebom rumah sepupunya, membunuhnya.
“Saya bahkan tidak bisa mengucapkan selamat tinggal padanya! Saya tidak bisa meninggalkan rumah pengungsi tempat saya berada. Keluarganya bahkan tidak bisa mengadakan pemakaman untuknya, dan mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka membawanya untuk menguburkannya menggunakan mobil mereka sendiri," ujarnya.