REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menyatakan pada Senin (4/12/2023), hampir 1,9 juta orang atau lebih dari 80 persen populasi telah mengungsi di Jalur Gaza sejak 7 Oktober. Hingga 2 Desember, 111 staf UNRWA telah terbunuh sejak awal perang.
Banyak dari mereka yang mengungsi pada awal perang, ketika Israel memerintahkan warga Palestina di Gaza utara untuk pindah ke jalur selatan. Perpindahan ini dilakukan karena anggapan wilayah Selatan akan lebih aman daripada wilayah utara. Namun, ada peringatan bahwa pengungsian dalam jumlah besar akan menjadi bencana kemanusiaan.
Dalam beberapa hari dan minggu setelahnya, Israel juga menargetkan jalur selatan, sehingga banyak pengamat mengatakan bahwa tidak ada tempat yang aman di jalur tersebut. “Tidak dapat diterima bahwa warga sipil tidak memiliki tempat yang aman untuk pergi ke Gaza, dan dengan adanya pengepungan militer, maka saat ini tidak ada respons kemanusiaan yang memadai,” ujar Presiden Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Mirjana Spoljaric tiba di Gaza yang dilanda perang pada Senin (4/12/2023).
Hingga 2 Desember, UNRWA telah dapat memverifikasi bahwa 117 insiden telah terjadi di 85 lokasi UNRWA sejak awal perang. Sebanyak 30 instalasi terkena dampak langsung dan 55 mengalami kerusakan tambahan.
Selain itu, UNRWA telah menerima laporan penggunaan fasilitasnya oleh militer setidaknya lima kali. Pada 2 Desember, hampir 1,2 juta pengungsi internal berlindung di 156 instalasi UNRWA di lima gubernuran Jalur Gaza, termasuk di Utara dan Kota Gaza. Hampir sejuta pengungsi berlindung di 99 fasilitas di wilayah Tengah, Khan Younis dan Rafah.
Tentara Israel kembali mengebom Jalur Gaza pada Jumat (1/12/2023) pagi, setelah menyatakan berakhirnya jeda kemanusiaan selama seminggu. Jumlah korban terbunuh akibat serangan Israel di Jalur Gaza, menurut Kementerian kesehatan Gaza, telah melonjak menjadi 15.899 sejak dimulainya konflik pada 7 Oktober. Jumlah korban luka pada periode yang sama meningkat menjadi 41.316 orang.