REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Belgia berencana menolak masuknya pemukim Israel dari wilayah pendudukan Tepi Barat yang terlibat dalam kekerasan terhadap warga Palestina. Upaya itu muncul usai Amerika Serikat (AS) telah menerapkan larangan visa terhadap orang-orang yang dituduh terlibat dalam kekerasan tersebut.
“Pemukim yang melakukan kekerasan akan ditolak masuk ke Belgia dan saya akan mengusulkan agar Belgia menganjurkan larangan perjalanan di seluruh Uni Eropa,” kata Wakil Perdana Menteri Belgia Petra De Sutter media sosial di X pada Kamis (7/12/2023).
Warga negara Israel tidak memerlukan visa untuk memasuki zona Schengen, yang merupakan bagian dari Belgia, dan dapat tinggal hingga 90 hari. Namun juru bicara pemerintah Belgia Barend Leyts mengatakan, negara itu akan meminta Dewan Eropa untuk menambahkan pemukim yang melakukan kekerasan ke dalam database informasi Schengen agar bisa menolak mereka masuk. Sebelumnya Uni Eropa (UE) telah mengutuk peningkatan kekerasan pemukim sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober.
De Croo juga mengatakan, bahwa Belgia akan bekerja sama dengan AS dalam memberikan sanksi terhadap individu yang merusak perdamaian di Tepi Barat. Sejak perang Timur Tengah pada 1967, Israel telah menduduki Tepi Barat, yang diinginkan Palestina sebagai inti sebagai negara merdeka.
Mereka telah membangun pemukiman Yahudi di sana yang dianggap ilegal oleh hukum internasional dan PBB. Israel membantah hal ini dan mengutip hubungan historis dan alkitabiah dengan tanah tersebut.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan pekan ini, bahwa tidak ada seorang pun selain pemerintah yang berhak menggunakan kekerasan di wilayah pendudukan Tepi Barat. Dia menegaskan, Israel telah mengambil beberapa langkah untuk meminta pertanggungjawaban orang-orang atas kekerasan di Tepi Barat seperti penahanan administratif.
AS telah beberapa kali meminta Israel untuk bertindak lebih dalam mencegah kekerasan yang dilakukan oleh pemukim Yahudi. Serangan di wilayah itu telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir seiring dengan perluasan pemukiman Yahudi, kemudian meningkat lagi sejak perang di Gaza sejak 7 Oktober.