REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 14 November, Kanselir Jerman Olaf Scholz kembali membuat argumen untuk membela Israel ketika bertemu dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Ketika itu, Scholz mengatakan, Israel adalah negara demokrasi.
“Israel adalah negara demokrasi, hal ini harus diungkapkan dengan sangat jelas,” kata Scholz menanggapi komentar Erdogan, yang mengatakan legitimasi Israel dipertanyakan karena fasismenya sendiri.
“Tidak ada keraguan mengenai hal ini. Dan kami akan menekankan dalam setiap percakapan dan setiap kesempatan bahwa ini adalah pandangan kami," ujar Scholz.
Pada saat Scholz menyampaikan pernyataan tersebut, lebih dari 11.100 warga Palestina telah dibunuh oleh militer Israel, yang memulai serangan di Gaza setelah Hamas melakukan infiltrasi mengejutkan ke Israel selatan pada 7 Oktober. Israel mengklaim 1.200 orang tewas dalam serangan Hamas, sementara lebih dari 200 orang telah disandera di Gaza.
Komentar Scholz bukan sekadar observasi politik. Republik Jerman modern telah mencoba memperbaiki masa lalu Nazi dan perannya dalam Holocaust selama Perang Dunia Kedua dengan membela Israel mati-matian. Hal ini telah lama menjadikan keamanan Israel sebagai Staatsräson (“alasan negara”), sebuah istilah yang pertama kali diciptakan dalam esai mantan duta besar Jerman untuk Israel, Rudolf Dreßler, di awal tahun 2000-an.
Perang Israel di Gaza, yang telah berlangsung selama lebih dari 60 hari, hanya memperkuat dukungan politik Jerman terhadap Israel. Pada Selasa (5/12/2023), pejabat dari Saxony-Anhalt mengumumkan bahwa pemohon yang ingin melakukan naturalisasi di negara bagian Jerman timur harus berkomitmen terhadap mendukung hak untuk hidup Israel secara tertulis, Jika mereka tidak mau mendukung Israel maka aplikasi pengajuan kewarganegaraan Jerman akan ditolak.
Pihak berwenang Jerman mengambil tindakan keras terhadap aksi solidaritas untuk Gaza. Akademisi Daniel Marwecki, seorang penulis buku "Jerman dan Israel: Pengapuran dan Pembangunan Negara" mengatakan, ketika politisi Jerman saat ini berbicara tentang Israel, mereka melakukannya dari sudut pandang moral. “Semua politisi terkemuka Jerman berpikir (bahwa membela Israel) secara moral adalah hal yang benar karena masa lalu Jerman,” ujar Marwecki, dilaporkan Aljazirah, Kamis (7/12/2023).
Sejarah hubungan antara Jerman dan Israel dimulai pada 1948 ketika negara Israel didirikan, setelah berakhirnya mandat Inggris di Palestina. Marwecki, yang merupakan dosen hubungan internasional di Universitas Hong Kong, mengatakan, tekad Jerman untuk menutupi citra internasionalnya setelah Holocaust mempengaruhi pendekatan pasca-perang terhadap Israel.
Hal ini termasuk persetujuan Kanselir Jerman Barat, Konrad Adenauer untuk membayar reparasi pasca-Holocaust kepada Israel dalam bentuk barang dan jasa pada 1952, ketika negara yang masih baru tersebut berupaya untuk mengembangkan perekonomiannya. Kemudian pada 1965, Jerman Barat dan Israel menjalin hubungan diplomatik formal.
Menyusul runtuhnya Tembok Berlin pada 1989, dan berakhirnya Perang Dingin, Jerman yang bersatu kembali menerapkan pendekatan jalur ganda untuk berhubungan dengan Israel. Menurut Marwecki, hubungan ini terbukti sangat penting.
"Pendekatan ini memfokuskan budaya ingatan Jerman, lebih banyak lagi pada Holocaust dan anti-Semitisme, sementara Berlin berupaya untuk memperkuat perannya sebagai kekuatan arus utama Eropa yang sejajar dengan Amerika Serikat," ujar Marwecki.
Namun tidak semua orang di Jerman mendukung komitmen terhadap Staatsräson. Para pendukung Palestina di Jerman mengatakan, dukungan terhadap Israel berjalan seiring dengan kampanye tanpa henti untuk membungkam suara-suara pro-Palestina. Para aktivis mencontohkan, pada 2019, Bundestag Jerman mengeluarkan mosi yang menyebut gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Israel adalah gerakan anti-Semit.
Tiga tahun kemudian, Masyarakat untuk Kebudayaan Demokratis di Berlin (VDK) yang didanai negara dipaksa oleh pengadilan Jerman untuk merilis dokumen rahasia yang menjebak akademisi Jerman-Palestina Anna Younes sebagai simpatisan anti-Semit dan teroris. Mereka menuduk Younes dengan menggunakan data yang dikumpulkan sejak 2014.
Younes telah mengalami banyak gejolak emosional selama masa ini dan banyak episode misinformasi lainnya. Younes mengatakan kepada Aljazirah bahwa dukungan Jerman yang tak tergoyahkan terhadap pengeboman Israel tanpa henti di Jalur Gaza telah membuatnya tidak bisa berkata-kata.
“Anda terus-menerus mendapat sorotan di negara ini,” kata Younes, tentang apa yang ia sebut sebagai upaya lama negara Jerman untuk mendelegitimasi dukungan dalam negeri terhadap Palestina.
“Sikap saya yang mengalami demoralisasi muncul karena mengalami hal ini dalam waktu yang lama," ujar Younes.
Warga Jerman tak ingin mengabaikan penderitaan warga Palestina....