REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pemerintah Israel pada Senin (11/12/2023) membantah bahwa pihaknya bermaksud untuk mendorong warga Palestina yang mencari perlindungan dari pengebomannya di Gaza melintasi perbatasan ke Mesir. Sementara badan-badan bantuan internasional mengatakan bahwa kelaparan telah menyebar di kalangan penduduk sipil di daerah yang terkepung tersebut.
Di tengah krisis kemanusiaan yang semakin memburuk, pejuang Hamas dan tentara Israel bertempur di seluruh wilayah. Sementara itu, para pejuang militan Hamas berusaha menghalangi tank-tank Israel, agar tidak dapat maju melalui jalan-jalan yang hancur.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan bahwa 18.205 orang telah tewas dan 49.645 lainnya terluka di Gaza hanya dalam waktu lebih dari dua bulan peperangan. Sementara itu, ratusan orang telah tewas sejak Amerika Serikat memveto proposal gencatan senjata di Dewan Keamanan PBB pada hari Jumat (8/12/2023).
Sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza telah terusir dari rumah mereka. Penduduk Gaza juga mengatakan saat ini mustahil untuk menemukan tempat berlindung atau makanan di daerah pantai yang padat penduduk tersebut.
Seorang warga Palestina mengatakan kepada Reuters bahwa ia tidak makan selama tiga hari dan harus mengemis roti untuk anak-anaknya. "Saya berpura-pura kuat tapi saya takut saya akan pingsan di depan mereka kapan saja," katanya melalui telepon, menolak untuk disebutkan namanya karena takut akan pembalasan.
UNRWA, badan PBB yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina, mengatakan bahwa beberapa orang berdatangan ke pusat-pusat kesehatan dan tempat penampungan dengan membawa anak-anak mereka yang telah meninggal. "Kami berada di ambang kehancuran," katanya di media sosial X.
Pada akhir pekan lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa ia khawatir akan terjadi pengungsian massal ke Mesir. Komisaris jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, mengatakan bahwa mendorong warga Gaza lebih dekat ke perbatasan merupakan upaya untuk memindahkan mereka ke sana.
Yordania juga menuduh Israel berusaha "mengosongkan Gaza dari penduduknya". Perbatasan dengan Mesir merupakan satu-satunya jalan keluar dari Gaza saat ini, namun Kairo telah memperingatkan bahwa mereka tidak akan mengizinkan warga Gaza masuk ke wilayahnya, karena khawatir mereka tidak akan bisa kembali.
Pemerintah Israel pada hari Senin membantah bahwa ini adalah tujuannya. Juru bicara Eylon Levy menyebut tuduhan tersebut "keterlaluan dan salah" dan mengatakan bahwa negaranya membela diri dari "monster" yang menyerang Israel pada 7 Oktober.
Dalam serangan tersebut, yang merupakan serangan paling mematikan dalam sejarah Israel, oleh kelompok pejuang Hamas. Saat 7 Oktober itu, setidaknya 1.200 orang warga Israel tewas, sebagian besar warga sipil, dan menyandera 240 orang, menurut perhitungan Israel. Sekitar 100 orang telah dibebaskan.
Serangan Hamas tersebut memicu serangan balasan dari Israel dan membawa periode perang paling berdarah dalam konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Para pejabat PBB mengatakan 1,9 juta orang atau 85 persen dari populasi Gaza mengungsi dan menggambarkan kondisi di wilayah selatan tempat mereka terkonsentrasi sebagai neraka.
Warga Gaza mengatakan bahwa mereka yang terpaksa mengungsi karena kelaparan dan kedinginan, serta pemboman, menggambarkan adanya penjarahan truk-truk bantuan dan harga-harga yang melambung tinggi. Program Pangan Dunia PBB mengatakan bahwa separuh dari penduduk Gaza mengalami kelaparan.
Israel mengatakan bahwa instruksinya kepada warga untuk pindah adalah salah satu langkah untuk melindungi penduduk. Utusan Dewan Keamanan PBB berbicara tentang penderitaan yang tak terbayangkan dan mendesak diakhirinya perang ketika mereka mengunjungi sisi Mesir dari penyeberangan perbatasan Rafah pada hari Senin (11/12/2023).
Ketika ditanya oleh para wartawan apakah ia memiliki pesan untuk negara-negara yang menentang gencatan senjata di Gaza, utusan PBB dari Cina, Zhang Jun, hanya mengatakan: "Cukup sudah."
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan pada hari Senin bahwa Israel tidak berniat untuk tinggal secara permanen di Jalur Gaza dan terbuka untuk mendiskusikan alternatif mengenai siapa yang akan mengendalikan wilayah tersebut, selama itu bukan kelompok yang memusuhi Israel.
"Israel akan mengambil langkah apa pun untuk menghancurkan Hamas, tetapi kami tidak berniat untuk tinggal secara permanen di Jalur Gaza. Kami hanya menjaga keamanan kami dan keamanan warga kami di sepanjang perbatasan dengan Gaza," kata Gallant kepada para wartawan.