REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengatakan, perang yang sedang berlangsung di Jalur Gaza merupakan ancamanan besar bagi keamanan nasional negaranya. Hal itu disampaikan setelah dia kembali terpilih sebagai presiden untuk masa jabatan ketiga pada Senin (18/12/2023).
Dalam pidato pascapengumuman kemenangannya, Sisi menyoroti perang tak manusiawi yang dilakukan Israel di Gaza. “Perang ini harus diakhiri, mengingat ancaman besar yang ditimbulkannya terhadap keamanan nasional Mesir dan penderitaan yang tak terhitung yang ditimbulkannya terhadap warga Palestina,” ujarnya, dikutip laman Middle East Monitor.
Saat berbicara di Doha Forum pada 10 Desember 2023 lalu, Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi menuduh Israel berusaha mengusir penduduk Palestina keluar dari Jalur Gaza. Hal itu disampaikan ketika Israel terus menggempur wilayah selatan Gaza yang bertapal batas dengan Mesir.
“Apa yang kita lihat di Gaza bukan hanya sekadar pembunuhan terhadap orang-orang tak berdosa dan penghancuran mata pencaharian mereka (oleh Israel), tapi juga upaya sistematis untuk mengosongkan Gaza dari penduduknya,” kata Safadi.
Menurutnya, dunia belum memperlihatkan iktikad untuk mengakhiri perang di Gaza. “Kita belum melihat dunia mencapai titik yang seharusnya kita capai, tuntutan tegas untuk mengakhiri perang ini, perang yang termasuk dalam definisi hukum genosida,” ujarnya.
Sebelum Safadi, Komisaris Jenderal Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini telah terlebih dulu menuduh Israel berusaha mengusir penduduk Palestina di Jalur Gaza ke Mesir. Dalam sebuah opini di Los Angeles Times yang diterbitkan 9 Desember 2023, Lazzarini mengingatkan, saat ini penduduk Gaza sudah terkonsentrasi di wilayah selatan.
Hal itu karena ketika pertempuran Israel-Hamas berkecamuk di utara, lebih dari 1 juga warga diperintahkan mengungsi ke selatan. Saat ini Israel mengintensifkan agresinya ke selatan Gaza.
“PBB dan beberapa negara anggota, termasuk AS, dengan tegas menolak pemindahan paksa warga Gaza keluar dari Jalur Gaza. Namun perkembangan yang kita saksikan menunjukkan adanya upaya untuk memindahkan warga Palestina ke Mesir, terlepas dari apakah mereka tinggal di sana atau dimukimkan kembali di tempat lain,” kata Lazzarini.
Dia mengungkapkan, kehancuran yang meluas di wilayah utara dan gelombang pengungsian yang diakibatkannya adalah tahap pertama dari skenario seperti itu. Sementara memaksa warga sipil Gaza keluar dari kota Khan Younis dan mendesak mereka lebih dekat ke perbatasan Mesir adalah tahap berikutnya.
“Jika jalan ini terus berlanjut, yang mengarah pada apa yang oleh banyak orang disebut sebagai Nakba kedua, Gaza tidak akan lagi menjadi tanah bagi warga Palestina,” kata Lazzarini, menggunakan istilah Arab untuk eksodus atau pemindahan paksa 760 ribu warga Palestina selama perang yang bertepatan dengan berdirinya Israel pada 1948.
Dari 2,4 juta penduduk Gaza, sekitar 1,9 juta di antaranya telah mengungsi dan tinggal di kamp-kamp pengungsian di kota Rafah yang berbatasan dengan Mesir. Kementerian Kesehatan Gaza mengungkapkan, sejauh ini lebih dari 19.400 orang terbunuh sejak Israel memulainya agresinya ke wilayah tersebut pada 7 Oktober 2023. Sebagian besar korban meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Sementara korban luka melampaui 52 ribu orang.