REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL – Korea Utara (Korut) menembakkan sekitar 200 peluru artileri ke perairan lepas pantai baratnya, Jumat (5/1/2024) pagi waktu setempat. Militer Korea Selatan (Korsel) memantau dengan cermat tindakan Korut tersebut.
Kepala Staf Gabungan Korsel mengungkapkan, pihaknya mendeteksi tembakan artileri dari Tanjung Jangsan dan Tanjung Deungsan yang sama-sama berada di wilayah pesisir barat daya Korut. Artileri ditembakkan dari pukul 09:00 hingga 11:00 waktu setempat.
Peluru artileri yang diluncurkan Korut jatuh di zona penyangga maritime di utara Garis Batas Utara atau Northern Limit Line (NLL), perbatasan maritim de facto di Laut Kuning. Zona penyangga ditetapkan berdasarkan perjanjian militer antar-Korea yang ditandatangani pada 19 September 2018, untuk mengurangi ketegangan perbatasan.
Kepala Staf Gabungan Korsel mengungkapkan, tidak ada laporan kerusakan akibat tembakan artileri Korut terhadap warga maupun fasilitas militer Korsel. Kendati demikian, militer Korsel memandang penembakan artileri oleh Pyongyang sebagai tindakan provokatif.
“Kami dengan sungguh-sungguh memperingatkan bahwa seluruh tanggung jawab atas situasi yang memperburuk krisis ini berada di tangan Korut dan sangat mendesak agar hal ini segera dihentikan,” kata juru bicara Kepala Staf Gabungan Korsel, Kolonel Lee Sung-jun, dalam konferensi pers, dikutip laman kantor berita Korsel, Yonhap.
“Di bawah koordinasi erat antara Korsel dan Amerika Serikat (AS), militer kami melacak dan memantau aktivitas terkait, dan akan melakukan tindakan yang sesuai terhadap provokasi Korut,” tambah Lee. Menurut beberapa pejabat Korsel, negara tersebut berencana melakukan latihan penembakan di pulau-pulau perbatasan barat di Laut Kuning pada Sabtu (6/1/2024). Hal itu sebagai respons Seoul atas aksi provokatif Korut.
Pada November 2023 lalu, Korsel memutuskan menangguhkan sebagian partisipasinya dalam North-South Military Agreement (NSMA) yang disepakati dengan Korut pada September 2018. Tujuan NSMA adalah mereduksi ketegangan antara kedua negara tersebut, yang belum secara resmi berdamai sejak berakhirnya Perang Korea pada 1953.
Keputusan Korsel menangguhkan sebagian partisipasinya dalam NSMA ini, diambil sebagai respons atas peluncuran satelit mata-mata oleh Korut. Menanggapi langkah Korsel, Korut memutuskan menarik diri dari NSMA. “Mulai sekarang, tentara kami tidak akan pernah terikat oleh NSMA 19 September (2018). Kami akan menarik langkah-langkah militer yang bertujuan mencegah ketegangan dan konflik militer di semua bidang termasuk darat, laut dan udara, serta mengerahkan angkatan bersenjata yang lebih kuat dan perangkat keras militer jenis baru di wilayah sepanjang Garis Demarkasi Militer,” kata Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Korut, 23 November 2023 lalu, dilaporkan kantor berita Korut, KCNA.
Kemenhan Korut menekankan, peluncuran satelit oleh negaranya merupakan langkah yang berkaitan dengan hak untuk membela diri serta pelaksanaan kedaulatan yang sah dan adil. Menurut mereka, langkah tersebut wajar diambil mengingat berbagai gerakan militer musuh di sekitar Semenanjung Korea.
Korut menilai, Korsel menjadi sangat histeris dengan konfrontasi karena menyebut hak hukum Pyongyang sebagai pelanggaran terhadap resolusi PBB dan tindakan ilegal. Korut pun menyoroti bagaimana Seoul tanpa ragu menangguhkan sebagian implementasi NSMA. “NSMA 19 September telah lama direduksi menjadi sekadar secarik kertas karena tindakan yang disengaja dan provokatif dari orang-orang ‘Korsel’,” kata Kemenhan Korut.
NSMA disepakati bersama oleh mantan presiden Korsel Moon Jae-in dan pemimpin Korut Kim Jong-un ketika mereka menggelar pertemuan tingkat tinggi pada September 2018. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Korut-Korsel sepakat memberlakukan zona penyangga di mana latihan penembakan dengan peluru tajam dihentikan, zona larangan terbang diterapkan dan beberapa pos penjagaan disisihkan. Terdapat beberapa tindakan lainnya yang tercakup dalam kesepakatan itu.