REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengkategorikan perang melawan Hamas yang saat ini masih berlangsung di Jalur Gaza sebagai “fase ketiga”. Dia menyebut, pertempuran pada fase ini bakal memakan waktu enam bulan.
“Netanyahu mengatakan bahwa dibutuhkan waktu enam bulan bagi tentara untuk menyelesaikan perang fase ketiga, yang telah dimulai di Jalur Gaza utara,” kata lembaga penyiaran publik Israel, KAN, dalam laporannya, Selasa (23/1/2024).
Netanyahu mengatakan bahwa fase pertama pemboman udara di Jalur Gaza memakan waktu peken. “Dan seperti yang kami katakan bahwa manuver besar-besaran bagian kedua akan memakan waktu tiga bulan, dan memang demikian, maka kami mengatakan bahwa bagian ketiga dari penetapan kendali akan berlangsung enam bulan,” ujar Netanyahu seperti dikutip KAN.
Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Uni Eropa, telah menyuarakan penentangan atas pernyataan Netanyahu yang menolak kemerdekaan Palestina sebagai solusi untuk mengakhiri pertempuran di Gaza. Mereka menilai, solusi dua negara adalah jalan bagi terciptanya perdamaian bagi kedua belah pihak.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak telah menyesalkan pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menolak penerapan solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik dengan Palestina. “Sangat mengecewakan mendengar hal ini dari perdana menteri Israel,” kata seorang juru bicara (jubir) Rishi Sunak, Senin (22/1/2024).
“Posisi Inggris tetap solusi dua negara, dengan negara Palestina yang hidup dan berdaulat berdampingan dengan Israel yang aman dan terjamin, adalah jalan terbaik menuju perdamaian abadi,” tambah jubir tersebut.
Dia mengatakan, jelas akan ada jalan panjang menuju pemulihan dan keamanan di wilayah Palestina serta Israel jika perang di Jalur Gaza sudah berakhir. “Tapi kami akan terus melanjutkan dukungan jangka panjang kami terhadap solusi dua negara selama diperlukan,” ujarnya.
Pada Senin kemarin, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, juga mengkritik keras Netanyahu yang menolak penerapan solusi dua negara guna menyelesaikan konflik dengan Palestina. “Perdamaian dan stabilitas tidak dapat dibangun hanya dengan cara militer,” kata Borrell menyinggung Israel, dikutip laman Al Arabiya.
“Solusi apa lagi yang ada dalam pikiran mereka (Israel)? Untuk membuat semua warga Palestina pergi? Untuk membunuh mereka?” kata Borrell. Borrell menegaskan satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian langgeng di kawasan Timur Tengah adalah dengan menerapkan solusi dua negara Israel-Palestina yang “dipaksakan dari luar”. “Yang ingin kami lakukan adalah membangun solusi dua negara. Jadi mari kita membicarakannya,” ucapnya.
Dalam konferensi pers yang disiarkan secara nasional pada Kamis (18/1/2024) pekan lalu, Netanyahu secara terbuka menolak solusi dua negara. “Dalam pengaturan apa pun di masa depan, Israel memerlukan kontrol keamanan atas seluruh wilayah, di sebelah barat Sungai Yordan. Ini bertentangan dengan gagasan kedaulatan untuk Palestina. Apa yang bisa Anda lakukan?” ucap Netanyahu.
“Perdana menteri harus mampu untuk mengatakan tidak kepada teman-teman kita,” kata Netanyahu seraya menambahkan bahwa dia sudah menyampaikan penolakannya terkait solusi dua negara kepada para pejabat AS.
Setelah Netanyahu menyampaikan pernyataannya, AS selaku sekutu utama Israel, segera merespons dan memberikan penentangan. “Tidak ada cara untuk menyelesaikan tantangan jangka panjang mereka (Israel) untuk memberikan keamanan abadi, serta tidak ada cara untuk menyelesaikan tantangan jangka pendek dalam membangun kembali Gaza dan membangun pemerintahan di Gaza serta memberikan keamanan bagi Gaza tanpa pembentukan negara Palestina,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller dalam pengarahan pers, 18 Januari 2024 lalu.
Lewat pernyataan Miller, tampak bahwa AS dan Israel sudah berseberangan pandangan tentang nasib Palestina pasca berakhirnya perang di Gaza. Sejak konflik di Gaza pecah pada Oktober tahun lalu, AS diketahui kerap membela posisi Israel. Washington bahkan mendukung agresi Israel ke Gaza dengan menyebutnya sebagai “hak membela diri”.
Saat ini perang Israel-Hamas masih berlangsung di Gaza. Lebih dari 25 ribu warga Gaza sudah terbunuh sejak Israel meluncurkan agresinya pada 7 Oktober 2023. Sebagian besar dari korban meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Sementara korban luka melampaui 62 ribu orang.