Senin 29 Jan 2024 16:11 WIB

LCS dan Myanmar Jadi Agenda Utama Pertemuan ASEAN

Filipina sedang menggalang dukungan dari negara-negara tetangganya di ASEAN.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Para perwakilan berpose untuk foto bersama dalam pertemuan retret para Menteri Luar Negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Luang Prabang, Laos, Senin, (29/1/2024).
Foto: AP Photo/Sakchai Lalit
Para perwakilan berpose untuk foto bersama dalam pertemuan retret para Menteri Luar Negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Luang Prabang, Laos, Senin, (29/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, LUANG PRABANG -- Sikap tegas Cina di Laut Cina Selatan (LCS) dan eskalasi kekerasan di Myanmar diperkirakan akan menjadi agenda utama pertemuan Asosiasi Negara Asia Tenggara (ASEAN) di Laos, Senin (29/1/2024). Pertemuan itu merupakan Konferensi Tingkat Tinggi pertama ASEAN dalam presidensi Laos tahun ini.

Diplomat dari 10 negara dengan total populasi 650 juta orang dan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar tiga triliun dolar AS akan membahas strategi untuk masalah keamanan, perdamaian dan stabilitas di kawasan. Mereka juga akan membahas kerja sama ekonomi dan isu lain sepanjang tahun ini yang bertema "penguatan konektivitas dan resiliensi."

Baca Juga

Beberapa negara anggota ASEAN yang terdiri atas Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Vietnam, Malaysia, Myanmar, Kamboja, Brunei, dan Laos, bersengketa dengan Cina soal kepemilikan perairan strategis LCS. Beijing mengklaim hampir seluruh LCS.

LCS merupakan perairan yang setiap tahunnya dilalui perdagangan dunia senilai 5 triliun dolar AS. Klaim Cina berkonfrontasi langsung dengan beberapa negara ASEAN seperti Filipina dan Vietnam.

Pertemuan ASEAN di kota bersejarah Luang Prabang diadakan pada hari yang sama ketika Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr, akan bertemu para pejabat tinggi di Hanoi, diantaranya membahas ketegangan yang sedang berlangsung di Laut Cina Selatan.

Filipina sedang menggalang dukungan dari negara-negara tetangganya di ASEAN, di tengah ketegangan dengan Cina terutama di Second Thomas Shoal. Banyak pihak yang khawatir sengketa dapat meningkat menjadi konflik bersenjata yang lebih luas yang dapat melibatkan Washington, sekutu lama Manila.

Pemerintah Filipina memprotes penggunaan meriam air, laser militer, dan manuver pemblokiran berbahaya pasukan penjaga pantai Cina yang menyebabkan tabrakan kecil di beting yang diduduki Filipina.

Pada 2012 lalu Cina dan ASEAN mendeklarasikan tata perilaku di LCS. "Untuk memperkuat kondisi yang mendukung perdamaian dan solusi tahan lama perbedaan dan sengketa."

Namun beberapa tahun terakhir hanya ada sedikit tanda-tanda kesepakatan itu dipatuhi. Selama presidensi Indonesia tahun lalu, ASEAN sepakat dengan Cina untuk menetapkan pedoman yang mempercepat negosiasi kode etik di LCS tapi belum menghasilkan apa-apa.

Sementara karena Laos yang dikuasai pemerintah komunis dan dekat dengan Cina banyak pihak yang skeptis ASEAN akan mencapai terobosan tahun ini. Laos yang seluruh wilayahnya daratan juga tidak memiliki sengketa LCS dengan Cina.

Salinan rancangan pernyataan akhir Laos yang dikeluarkan Senin ini, tidak menyinggung klaim Cina. Tapi beberapa kali menekan pentingnya menghormati konvensi PBB mengenai peraturan laut.

Dalam konvensi 2016 tersebut pengadilan yang didukung PBB memutuskan klaim ekspansif Cina di LCS berdasarkan data sejarah tidak valid. Konvensi itu juga menyatakan Beijing melanggar hak Filipina untuk memancing dan mencari ikan di perairannya.

Cina menolak berpartisipasi dalam pengadilan tersebut dan menolak hasilnya. "ASEAN membahas masalah reklamasi lahan, kegiatan, insiden serius di daerah tersebut, termasuk tindakan yang membahayakan keselamatan semua orang dan menekankan pada semua pihak yang bersengketa pentingnya non-militerisasi dan menahan diri dalam melakukan semua kegiatan," kata Laos dalam salinan rancangan pernyataan diakhir pertemuan ASEAN.

Laos negara tetangga pertama Myanmar yang menjadi ketua ASEAN sejak militer mengkudeta pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 lalu. ASEAN sudah mengembangkan "Konsensus Lima Poin" untuk berdamaian.

Konsensus itu menyerukan gencatan senjata, dialog semua pihak yang terlibat, mediasi yang dilakukan utusan ASEAN, mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk lewat jalur ASEAN dan kunjungan utusan khusus ASEAN ke Myanmar untuk bertemu semua pihak yang bertikai.

Sejauh ini pemimpin militer Myanmar mengabaikan rencana tersebut. Menurut PBB saat ini krisis kemanusiaan Myanmar semakin memburuk, konflik memaksa lebih dari 2,6 juta orang mengungsi dari rumah mereka.  

Laos juga sudah mengirimkan utusan khusus ke Myanmar untuk bertemu ketua dewan pemerintah militer dan pejabat tinggi lainnya. Sebagai upaya untuk memajukan konsensus lima poin.

Sejak akhir 2021 lalu ASEAN sudah melarang Myanmar mengirim menteri luar negeri dan perwakilan politiknya ke pertemuan-pertemuan blok tersebut. Setelah utusan ASEAN dilarang bertemu dengan Suu Kyi. Myanmar akan diwakilkan menteri luar negeri non-politik di pertemuan di Luang Prabang.

Dalam salinan rancangan pernyataan terakhirnya, Laos menyebut Myanmar sebagai "bagian integral dari ASEAN" dan mengatakan ASEAN berkomitmen untuk "membantu Myanmar menemukan solusi damai dan tahan lama untuk krisis yang sedang berlangsung" melalui implementasi konsensus lima poin.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement