Rabu 14 Feb 2024 17:23 WIB

Untuk Warga Gaza, Harapan Pun Sudah tak Ada

Banyak trauma yang terasa saat melarikan diri dari tank-tank Israel.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Warga mengungsi dari Rafah, Jalur Gaza selatan, (12/2/ 2024).
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Warga mengungsi dari Rafah, Jalur Gaza selatan, (12/2/ 2024).

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Saat kembali ke rumahnya di timur Kota Gaza, Mahmoud Murtaja sama muramnya saat ia terpaksa mengungsi karena tentara Israel mulai menyerang kotanya tiga bulan yang lalu. Meski pengeboman belum berhenti Murtaja memilih kembali.

Ia mengira pulang akan membawa ia dan keluarga menjadi lebih tenang setelah berpindah-pindah tempat untuk mengungsi. Tapi, saat ia tiba di tempat di mana seharusnya rumah berada, harapannya pupus. Rumah tiga lantainya tidak terlihat. Di tempat itu hanya ada tumpukan tanah dan puing-puing yang menghitam.

Baca Juga

"Kami mendengar area kami menjadi target tembakan artileri berat dan serangan udara Israel selama serangan berlangsung," kata Murtaja seperti dikutip dari Aljazirah, Rabu (14/2/2024). "Kami memperkirakan akan melihatkan kerusakan, tapi kami tidak membayangkan rumahnya benar-benar hancur dan kami harus menyisir tanah untuk mencari barang-barang kami untuk mengidentifikasinya. Kami bahkan tidak bisa menemukan jejak dinding atau atap," tambahnya.

Keluarga yang terdiri dari lima orang ini kini tinggal di tenda yang didirikan di atas tanah bekas rumah mereka berdiri. Murtaja mengatakan kini tidak ada apa pun yang menghalangi pandangannya dari dalam tenda sejauh beberapa kilometer. Semuanya rata dengan tanah.

Tenda tersebut menyediakan tempat berlindung dari hujan, tetapi tidak ada perlindungan dari serangan dan tidak ada privasi, atau penutup yang cukup untuk membuat mereka tetap hangat di malam hari. Anak perempuan Murtaja yang berusia sembilan tahun, Salma, menggambarkan teror saat melarikan diri dari tank-tank Israel. Ia bermimpi pulang ke rumah dan menemukan kedamaian dari tempat penampungan yang penuh sesak di selatan Gaza.

Pada akhirnya, ia mendapati dirinya tidur di atas tanah di sebuah tenda kecil berukuran enam meter persegi, di mana ia mengira kamarnya dulu pernah berdiri. "Saya bahkan tidak bisa tidur. Rasanya seperti tidur di jalan tapi dengan rasa sakit dan air mata sepanjang hari," kata Salma.

"Yang saya inginkan hanyalah kamar saya, boneka-boneka saya, dan pakaian saya kembali," tambahnya. Ibu Salman, Rahaf mengatakan bagi keluarganya perjalanan kembali ke rumah mereka merupakan perjalanan yang "panjang dan traumatis." Kini, dengan hilangnya rumah mereka, Rahaf merasa tidak ada lagi yang akan pernah mengenal rasa aman.

"Bagi kami, kehilangan rumah keluarga terasa seperti kehilangan jiwa kami saat masih hidup. Dan itu adalah perasaan yang paling menyakitkan yang bisa dialami manusia," katanya. Murtaja, yang merupakan seorang instruktur mengemudi sebelum perang, mengatakan ketika pertama kali meninggalkan rumah, ia mengira mereka hanya akan pergi beberapa hari.

Ia tidak pernah menyangka keluarganya pulang hanya untuk menemukan rumah mereka tinggal reruntuhan. Kini, keluarga Murtaja harus berpencar setiap pagi beberapa mencari kayu untuk dibakar sementara yang lain menyisir daerah itu untuk mencari air.

Hampir setiap hari, usaha mereka tidak menghasilkan apa-apa dan mereka kembali ke tenda dengan tangan kosong, yang berarti tidak ada air atau makanan untuk hari itu. Bagi keluarga seperti keluarga Murtaj, yang tinggal di sisa-sisa rumah mereka yang rata dengan tanah di bagian utara Gaza, malam tidak hanya terasa dingin tetapi juga menakutkan.

Ledakan-ledakan di sekitar mereka mengguncang tanah tempat mereka bernaung, sementara anjing-anjing liar menggonggong dan menyalak di luar rumah, menambah ketakutan keluarga tersebut. Saat perang memasuki bulan kelima, ribuan keluarga Palestina di seluruh Jalur Gaza kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi di tanah mereka sendiri.

Di bagian utara, seluruh keluarga tercerai-berai akibat perang, menghancurkan komunitas secara demografis dan geografis. Murtaja merasa rasa ikatannya pada dunia terputus. Mereka membutuhkan bantuan.

Lebih dari itu, katanya, mereka perlu diakui sebagai manusia. "Kami perlu merasa sebagai manusia yang setara yang dapat menikmati hak-hak dasar manusia, seperti keamanan, martabat, kebebasan, dan keadilan," katanya.

Murtaja ingin sekali bisa membangun kembali rumahnya, dan ia memiliki harapan suatu hari nanti masyarakat internasional akan menanggapi penderitaan rakyat Gaza. Namun, katanya, saat ini ia berdoa agar rekonstruksi datang dengan jaminan meski ketika ia membangun kembali rumahnya, rumah itu tidak akan dihancurkan dalam sekejap mata, sementara dunia hanya berdiam diri.

"Saya mulai merasa berharap bahwa gencatan senjata akan segera diberlakukan," kata Murtaja. "Tetapi setelah saya kehilangan rumah saya, rumah yang saya bangun dan rawat selama bertahun-tahun, saya kehilangan harapan. Dan saya rasa saya tidak membutuhkannya lagi," tambahnya.

Murtaja sekarang percaya gencatan senjata sudah terlalu terlambat bagi keluarganya yang rasa amannya telah hancur selamanya. "Sayangnya, saya rasa tidak akan ada bedanya bagi kami jika mereka mengumumkan gencatan senjata sekarang," katanya. "Kami kehilangan harapan. Kami kehilangan segalanya."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement