Rabu 27 Mar 2024 09:31 WIB

Pemimpin Hamas Dilaporkan akan Berkunjung ke Iran

Kunjungan ini akan menjadi kunjungan kedua Haniyeh ke Iran.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Foto selebaran yang disediakan oleh kantor Kementerian Luar Negeri Iran menunjukkan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh berbicara kepada media di Doha, Qatar, (20/12/2023).
Foto: EPA-EFE/IRANIAN FOREIGN MINISTRY
Foto selebaran yang disediakan oleh kantor Kementerian Luar Negeri Iran menunjukkan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh berbicara kepada media di Doha, Qatar, (20/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Media pemerintah Iran, Press TV melaporkan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh akan berkunjung ke Teheran untuk bertemu pejabat-pejabat Iran. Kunjungan ini dilaporkan satu hari setelah Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi yang menuntut gencatan senjata segera antara Israel dan Hamas.

Iran mendukung Hamas dalam serangan Israel ke Gaza yang sudah menewaskan lebih dari 32 ribu orang. Kunjungan ini akan menjadi kunjungan kedua Haniyeh ke Iran sejak perang yang pecah 7 Oktober 2023.

Baca Juga

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani mengatakan resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai 'langkah positif.' "Satu langkah penting lainnya adalah tindakan efektif untuk mengimplementasikannya," kata Kanaani, Selasa (26/3/2024).

Hamas menyambut baik resolusi PBB tapi mengatakan gencatan senjata harus permanen. Amerika Serikat (AS) dalam pemungutan suara resolusi tersebut. Sementara 14 negara anggota lainnya setuju resolusi yang diusulkan 10 negara anggota terpilih itu.

Keputusan AS tidak memveto resolusi tersebut memperburuk hubungannya dengan Israel. Netanyahu membatalkan kunjungan delegasi ke Washington untuk membahas rencana serangan ke Rafah yang kini menampung lebih dari 1 juta pengungsi dari daerah lain di Gaza.

Penangguhan pertemuan tersebut menjadi hambatan baru bagi upaya AS yang prihatin dengan bencana kemanusiaan yang semakin parah di Gaza, untuk membuat Netanyahu mempertimbangkan alternatif lain selain invasi darat ke Rafah.

Ancaman serangan semacam itu meningkatkan ketegangan antara AS dan Israel, dan menimbulkan pertanyaan tentang apakah AS akan membatasi bantuan militer jika Netanyahu menentang Biden dan melanjutkan rencana menyerang Rafah. "Hal ini menunjukkan kepercayaan antara pemerintahan Biden dan Netanyahu mungkin mulai runtuh," kata mantan negosiator Timur Tengah untuk pemerintahan Partai Republik dan Partai Demokrat, Aaron David Miller.

"Jika krisis ini tidak dikelola dengan hati-hati, maka krisis ini akan terus memburuk," tambahnya. Keputusan Biden untuk abstain setelah berbulan-bulan  berpegang teguh pada kebijakan lama AS untuk melindungi Israel di PBB tampaknya mencerminkan meningkatnya frustrasi AS terhadap pemimpin Israel. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement