REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah China menjelaskan sikap "abstain" yang diambil dalam pemungutan suara Dewan Keamanan PBB untuk mengadopsi resolusi baru soal perluasan mandat panel ahli. Para ahli ini bertugas memantau penegakan sanksi tahunan terhadap Korea Utara.
"Rancangan resolusi tersebut telah dipaksakan melalui pemungutan suara dan anggota Dewan Keamanan (DK) PBB harus menyampaikan pendapatnya ketika negara-negara yang menjadi sponsor masih punya waktu untuk berkonsultasi. Kondisi itu tidak baik untuk menjaga kewenangan DK PBB," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China Lin Jian pada Jumat (29/3/2024) seperti diakses dalam laman Kemlu China, Sabtu, (30/3/2024)
DK PBB gagal mengadopsi resolusi baru untuk memperluas mandat panel ahli yang bertugas memantau penegakan sanksi tahunan terhadap Korea Utara. Keputusan ini setelah dalam pemungutan suara di Washington pada Kamis (28/3/2024), sebanyak 13 negara mendukung resolusi, Rusia menggunakan hak veto dan China memilih abstain.
Karena Rusia yang menggunakan hak veto, maka mandat tersebut gagal diperpanjang satu tahun lagi, padahal mandat panel akan berakhir pada 30 April 2025. Kegagalan tersebut adalah yang pertama kalinya dan berpotensi terhadap pelemahan upaya global untuk mengekang ancaman nuklir dan rudal Pyongyang.
"Di tengah ketegangan yang terus berlanjut di Semenanjung Korea, penerapan sanksi dan tekanan secara membabi-buta tidak akan menyelesaikan masalah," ungkap Lin Jian. Lin Jian menyebut penyelesaian politik adalah satu-satunya jalan keluar yang bisa dilakukan.
"Kami berharap Dewan Keamanan dan pihak-pihak terkait akan melakukan upaya konstruktif untuk mencapai tujuan ini," tambah Lin Jian. Menghadapi kegagalan resolusi tersebut, anggota DK PBB melakukan negosiasi intens dengan Rusia yang dikatakan telah mengusulkan klausul "sunset" untuk mengakhiri sanksi DK PBB terhadap Korea Utara.
Tuntutan itu tidak dapat diterima oleh Korea Selatan, Amerika, dan anggota DK PBB lain. Mandat panel telah diperpanjang setiap tahun sejak diluncurkan pada 2009. Hal ini, sejalan dengan Resolusi DK PBB 1874 sebagai tanggapan terhadap uji coba nuklir kedua Korea Utara pada Mei di tahun yang sama.
Panel ahli PBB membantu Komite 1718 DK PBB mengawasi pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan kepada Korut dan mencegah penguasa negara itu "terus mengembangkan program nuklir dan rudal yang berbahaya".
Dengan membantu Komite Sanksi DK PBB untuk Korea Utara, panel berfungsi sebagai "platform" kelembagaan utama untuk mengawasi sanksi terhadap Korea Utara. Panel ahli telah menerbitkan dua laporan setiap tahun yang memuat contoh pelanggaran sanksi berdasarkan informasi dari negara-negara anggota PBB dan sumber terbuka lainnya.
Uni Eropa (UE) juga mengutuk keras veto Rusia dan meminta agar Rusia meninjau ulang keputusannya itu. UE menuding langkah Moskow adalah upaya menutupi kerja sama industri militernya dengan Korut, dan mendesak Rusia mempertimbangkan lagi keputusannya dan "terus bekerja sama dengan PBB dan negara-negara anggotanya dalam resolusi terkait DPRK".
Moskow berkali-kali membantah tudingan adanya kerja sama Rusia-Korut dalam industri senjata ilegal dengan menyebutnya sebagai tuduhan tidak berdasar.