REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Rusia mengatakan negara-negara besar harus memperbaharui pendekatan mereka pada Korea Utara (Korut). Moskow menuduh, Washington dan sekutu-sekutunya meningkatkan ketegangan militer di Asia dan berusaha untuk "mencekik" negara tertutup tersebut.
Rusia memveto perpanjangan pemantauan para ahli untuk memastikan sanksi-sanksi PBB pada Korut atas program senjata nuklir dan rudal balistiknya ditegakkan. Langkah Moskow ini, menjadi pukulan keras atas penegakan sanksi PBB pada Pyongyang yang dijatuhkan setelah ujicoba nuklir pertama Korut pada 2006 lalu.
Hal ini sekaligus menunjukkan kedekatan Pemimpin Korut Kim Jong-un dengan Presiden Rusia Vladimir Putin selama perang di Ukraina. "Bagi kami jelas Dewan Keamanan PBB tidak bisa lagi menggunakan pola yang sama sehubungan dengan masalah-masalah di Semenanjung Korea," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova, Jumat (29/3/2024).
Zakharova mengatakan, Amerika Serikat (AS) meningkatkan ketegangan militer sementara pembatasan internasional tidak memperbaiki situasi keamanan dan terdapat konsekuensi kemanusiaan bagi masyarakat Demokratik Rakyat Korea (DPRK) atau Korut. "Amerika Serikat dan sekutu-sekutu jelas menunjukkan kepentingan mereka tidak melampaui tugas ‘mencekik’ DPRK dengan segala cara yang ada, dan penyelesaian damai sama sekali tidak ada dalam agenda mereka,” katanya.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan, veto Rusia ini merusak perdamaian dan keamanan internasional. AS juga menuduh Moskow berusaha mengubur laporan dari para ahli mengenai "kolusinya" dengan Korut untuk mendapatkan senjata.
"Rusia sendiri yang akan menanggung akibat dari veto ini: DPRK yang semakin berani melakukan tindakan sembrono dan provokasi yang mengacaukan stabilitas, serta berkurangnya prospek perdamaian yang langgeng di Semenanjung Korea," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller.
Veto Rusia dipandang sebagai titik balik sanksi internasional terhadap rezim Korut yang berdiri pada 1948 dengan dukungan Uni Soviet, sementara Republik Korea atau Korea Selatan (Korsel) didukung Amerika Serikat. Menurut PBB, Korut satu-satunya negara yang telah melakukan uji coba nuklir pada abad ke-21 pada 2006, 2009, 2013, dan dua kali pada tahun 2016, dan 2017.
Rusia mengatakan, para ahli yang dimandatkan PBB untuk melakukan pemantauan tidak obyektif dan memihak. Menurut Moskow, para ahli telah berubah menjadi alat Barat. "Kelompok Pakar Komite 1718 Dewan Keamanan PBB kehilangan semua standar objektivitas dan ketidakberpihakan, yang seharusnya menjadi karakteristik integral dari mandatnya," kata Zakharova.
Veto kali ini juga menggambarkan seberapa jauh perang Ukraina, yang memicu krisis terdalam dalam hubungan Rusia dengan Barat sejak Krisis Rudal Kuba 1962, merusak kerja sama negara-negara besar dalam isu-isu global lainnya.
Sejak Putin memerintahkan invasi skala penuh ke Ukraina pada 2022, Moskow berusaha keras memamerkan kebangkitan hubungannya termasuk hubungan militer dengan Pyongyang. Washington menuduh Korut memasok rudal kepada Rusia untuk digunakan dalam perang di Ukraina. Kremlin dan Pyongyang membantah keras tuduhan tersebut.
Menurut pakar, Putin dapat memanfaatkan hubungan dekat dengan Kim Jong-un untuk menekan Washington dan sekutu-sekutu AS di Asia- sambil mengamankan pasokan artileri untuk perang Ukraina. Sementara bagi Kim yang berjanji mempercepat produksi senjata nuklir untuk menangkal apa yang dianggap sebagai provokasi AS, Rusia merupakan sekutu dengan kekuatan besar yang memiliki teknologi rudal, militer, ruang angkasa, dan nuklir yang canggih.
Zakharova mengatakan Rusia akan mencari kompromi agar sanksi-sanksi pada Korut ditinjau kembali dalam batas waktu tertentu. Meskipun AS sudah menolak keras proposal tersebut.
"Kami menyerukan kepada pihak-pihak terkait untuk menahan diri dari langkah-langkah yang meningkatkan ketegangan dan mengkonfigurasi ulang diri mereka untuk menemukan cara-cara untuk berdamai, dengan mempertimbangkan prioritas keamanan yang diketahui," kata Zakharova.