REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Israel akan merasa lebih nyaman jika Turki menjadi negara penjamin bagi Palestina, sebut Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan pada Sabtu, (27/4/2024).
"Kami sarankan untuk kembali ke (kesepakatan) perbatasan 1967 dan solusi dua-negara, Turki siap menjadi penjamin. Kami sudah membicarakan hal ini sejak awal. Dengan jaminan Turki, kedua pihak, Palestina dan Israel, akan merasa nyaman," kata Fidan seperti dikutip harian Yeni Safak.
Dia mengatakan bahwa pernyataan dari kelompok perlawanan Palestina Hamas, yang mengindikasikan kesiapan mereka untuk "meletakkan senjata" jika kedua negara terbentuk, juga sangat penting. Dia menambahkan, proses ke arah itu sedang berlangsung.
Pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan roket besar-besaran ke Israel dari Gaza dan menerobos perbatasan. Akibat dari serangan itu 1.200 orang tewas dan 240 lainnya disandera, menurut Israel. Israel kemudian melancarkan serangan balasan ke Jalur Gaza dan memblokade wilayah kantong Palestina itu untuk menumpas para pejuang Hamas dan menyelamatkan sandera.
Lebih dari 34 ribu warga Palestina telah tewas di Gaza, menurut otoritas setempat. Pada 24 November, Qatar memediasi perjanjian Israel dan Hamas tentang gencatan senjata dan pertukaran tawanan, serta pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Gencatan senjata itu diperpanjang beberapa kali dan berakhir pada 1 Desember. Lebih dari 100 sandera diyakini masih ditawan oleh Hamas di Gaza. Rusia telah berkali-kali menyerukan kedua pihak yang bertikai untuk menghentikan pertempuran.
Moskow menyatakan, satu-satunya cara untuk mengakhiri konflik adalah pendirian negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Majelis Umum PBB pada 1947 melakukan pemilihan untuk memisahkan wilayah Palestina, yang saat itu diperintah oleh Inggris, menjadi dua negara, masing-masing untuk bangsa Arab dan Yahudi.
Pemisahan itu semula dijadwalkan pada Mei 1948, ketika mandat Inggris berakhir, tetapi faktanya hanya negara Israel yang berdiri.