REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Lebih dari 50 anggota parlemen Amerika Serikat (AS) mengirim surat kepada Presiden Joe Biden pekan ini untuk mendesak pemerintahannya agar dapat menggunakan semua cara guna menghalangi Israel melancarkan operasi ofensif di Rafah.
"Kami menulis dengan mendesak untuk mengatakan: invasi ofensif ke Rafah oleh Israel dalam beberapa hari mendatang sepenuhnya tidak dapat diterima," kata surat itu, yang dirilis Kamis (2/5/2024). "Kami mendesak Anda untuk menggunakan undang-undang dan kebijakan yang ada untuk segera menahan bantuan militer tertentu yang bersifat ofensif kepada pemerintah Israel, termasuk bantuan yang bersumber dari undang-undang yang telah ditandatangani menjadi undang-undang, untuk mencegah serangan skala penuh terhadap Rafah," lanjutnya.
Pada Selasa (30/4/2024), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Israel akan memasuki Rafah untuk memerangi organisasi Palestina, Hamas, dengan atau tanpa kesepakatan mengenai sandera. "Israel tidak punya pilihan lain selain memasuki Rafah," kata Netanyahu.
Israel juga belum memberikan rencana yang kredibel dan dapat dilaksanakan untuk melindungi warga sipil selama potensi operasi di Rafah, seperti yang diminta pemerintahan Biden, kata surat itu.
Serangan Israel di Rafah berisiko memicu terjadinya "eskalasi spiral" dan menempatkan wilayah tersebut kembali ke jurang konflik yang lebih luas, menurut surat tersebut. Awal pekan ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, operasi Israel di Rafah akan menjadi "eskalasi yang tak tertahankan" yang akan membunuh ribuan warga sipil dan memaksa ratusan ribu lainnya mengungsi.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell juga mendesak Israel untuk tidak melancarkan serangan di Rafah. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken memberi isyarat kepada Israel bahwa melancarkan serangan di Rafah dapat menghambat upaya normalisasi hubungan dengan Arab Saudi, sebagaimana dilaporkan sejumlah media Israel pada Kamis.
Sebelumnya pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan besar-besaran terhadap Israel, yang menewaskan hampir 1.200 warga sipil dan personel militer Israel, dan sekitar 240 lainnya diculik. Sebagai tanggapan atas serangan tersebut, Israel memulai operasi militer di Jalur Gaza, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 34.000 orang, menurut otoritas setempat.