REPUBLIKA.CO.ID, VICTORIA -- Konferensi Internasional dan Kegiatan Budaya Aceh untuk pertama kalinya digelar di Australia. Konferensi menghadirkan para ilmuwan dan pemerhati isu-isu sosial untuk membahas masa depan Aceh.
Isu yang diangkat dalam konferensi ini diantaranya apa-apa saja yang dicapai dalam bidang politik, hukum, sejarah, budaya dan seni di Aceh serta tantangan Aceh di masa depan. Konferensi digelar sejak Senin (26/9) hingga Rabu (28/9) dengan mengambil tempat di kampus Monash yang berada di kawasan Clayton, negara bagian Victoria.
Salah satu pembicara dalam konferensi ini adalah Anthony Reid, Emeritus Professor di bidang sejarah dari Australian National University. Anthony adalah sejarawan yang banyak mengikuti perjalanan Aceh dan kawasan Asia Tenggara lainnya.
"Aceh memiliki keunikan tersendiri dengan apa yang telah dilaluinya, mulai dari konflik hingga bencana alam sehingga memang layak untuk mendapat sorotan," ujar Anthony.
"Aceh agak berbeda dari daerah lain, sejarahnya penuh [dengan] kosmopolitan, sebagai pelabuhan yang punya peranan dengan Arab, India, Asia Tenggara, saya rasa Aceh memberi banyak bagi Indonesia," tambah Anthony yang disampaikannya dalam bahasa Indonesia.
"Tapi saya rasa isu kemerdekaan Aceh sudah lewat, karena sebenarnya dalam dunia sekarang, kita semua saling ketergantungan, jadi membuang darah untuk mencari kemerdekaan 100 persen sudah tidak masuk akal lagi."
Sementara itu sejumlah mahasiswa asal Aceh yang sedang kuliah di Australia menyambut baik konferensi internasional Aceh yang pertama kalinya ini. "Pertama kali saya menghadiri konferensi yang kenalkan budaya Aceh... saya sebagai orang Aceh merasa bangga ketika Aceh diperkenalkan di mata publik Australia," ujar Tata Hira, mahasiswa S2 Monash University di bidang pendidikan.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Raihan, yang juga memiliki harapan dengan adanya konferensi Aceh di tingkat internasional ini. "Saya berharap Aceh bisa menjadi lebih baik lagi ke depannya dan saya berharap masyarakat dunia, khususnya Australia bisa mengenal Aceh lebih dalam lagi," kata Raihan yang baru berada di Australia beberapa bulan.
Ada upaya memperkenalkan budaya Aceh
Tak hanya konferensi dengan mendengarkan pemaparan para pengamat dan mereka yang ahli di bidangnya, acara ini juga menampilkan sejumlah kegiatan budaya. Pelukis asal Aceh, Mahdi Abdullah menggelar pameran tunggalnya di MADA Gallery, Monash University selama lebih dari 10 hari.
Ia banyak menampilkan kehidupan rakyat Aceh, lengkap dengan masalah yang mereka hadapi sehari-hari. "Saya merasa bangga karena bisa ikut ambil bagian dengan memamerkan hasil karya lukisan saya di konferensi internasional Aceh yang pertama kalinya ini," ujar Mahdi.
Sebuah pameran bernama Keuneubah Indatu juga ditampilkan dengan koleksi instrumen musik, bahan tekstil, perlengkapan pernikahan, kostum, yang semuanya adalah tradisional Aceh.
Acara konferensi ditutup dengan sebuah konser yang menampilkan seni tari dan musik khas Aceh, yang dibawakan langsung oleh para seniman dari Universitas Syiah Kuala di Aceh. Seniman ternama Aceh, seperti Hasan Basri yang dikenal sebagai jagonya sudati dan penyanyi sikambang Anhar Sitanggang ikut tampil dalam panggung, selain tentunya penampilan Saman Gayo.