REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Kesepakatan perbatasan maritim antara Australia dan Timor Leste akan ditandatangani di New York besok, mengakhiri perselisihan panjang kedua negara atas isu ini. Namun implikasi kesepakatan itu bisa memicu sengketa baru di bidang hukum internasional bagi Australia jika Indonesia hal tersebut untuk menegosiasi ulang perbatasan lautnya dengan Australia.
Jika Indonesia meminta negosiasi ulang maka skenario terburuk bagi Australia adalah negara ini harus mengizinkan Indonesia mengklaim hak atas cadangan minyak dan gas di Laut Timor.
Perincian kesepakatan tersebut masih dirahasiakan sampai sekarang. Tapi diperkirakan batas laut ini berada di titik tengah antara kedua negara, jauh di selatan batas yang diusulkan Australia - di tepi landas kontinennya yang membentang hingga 50 mil laut pantai selatan Timor Leste.
Perjanjian ini sangat penting bagi masa depan Timor Leste, mengingat ketergantungannya pada royalti migas yang semakin berkurang. Selain itu, batas garis median kemungkinan memberikan negara kecil ini kedaulatabnlebih besar atas ladang migas Greater Sunrise, yang diperkirakan bernilai 64,5 miliar dolar AS.
Perbatasan Australia-Indonesia
Namun, batas laut di pertengahan antara Australia dan Timor Leste berimplikasi pada perbatasan Australia yang jauh lebih panjang dengan Indonesia ke depannya. Kemungkinan seperti ini telah lama dihindari oleh pemerintahan di Australia sebelumnya.
Memang, pada 2002 ketika Timor Leste merdeka, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer saat itu memperingatkan penetapan ulang batas-batas maritim dengan Timor Leste akan berisiko mengurai ribuan kilometer perbatasan laut dengan Indonesia.
"Hal yang tidak diinginkan Australia yaitu mengurai semua perbatasan maritim yang telah kita dinegosiasikan susah payah selama bertahun-tahun dengan semua negara tetangga kita," kata Menlu Downer saat itu.
"Batas-batas maritim kita dengan Indonesia mencakup ribuan kilometer. Itu masalah sangat besar bagi kita dan kita tidak mau masuk dalam negosiasi ulang," tambahnya.
Sekarang, 16 tahun kemudian, skenario itu mungkin saja bisa terjadi. Hanya perlu melihat peta perbatasan maritim Australia dengan Indonesia dan Timor Leste, untuk memastikan adanya potensi masalah tersebut. Menempatkan batas laut Australia dan Timor Leste di titik tengah akan bertumpang tindih dengan perbatasan dengan Indonesia.
Batas laut Australia dan Indonesia disepakati pada awal 1971, ketika sebagian besar batas laut Australia masih didasarkan pada landas kontinen, yang jauh melampaui batas rata-rata dan sangat dekat dengan garis pantai pulau-pulau Indonesia. Tapi hukum internasional telah banyak berubah dan kini lebih mendahulukan garis median, dan bukan lagi landas kontinen.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 misalnya menetapkan "dimana pantai dua negara berhadapan atau berdekatan satu sama lain, kedua negara tidak berhak memperluas laut teritorialnya melampaui garis pertengahan."
Akses ke migas
Hal ini berarti jika batas maritim dengan Indonesia dinegosiasikan saat ini, hasilnya akan sangat berbeda dan memberikan hak yang lebih besar bagi Indonesia untuk kandungan kekayaan laut. Lebih penting lagi, bisa dikatakan hal itu akan memberi hak kepada Indonesia atas kekayaan alam di Greater Sunrise.
Bahkan pada 1977 - lima tahun setelah perjanjian disepakati - Menlu Indonesia Mochtar Kusamaatmadja saat itu mengklaim Australia telah merugikan Indonesia atas perundingan perbatasan.
Garis median kemudian digunakan untuk menentukan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam perjanjian terpisah pada 1997, sehingga hak penangkapan ikan nelayan Indonesia jauh lebih jauh ke selatan daripada hak atas kekayaan dasar laut (minyak dan gas).
Indonesia belum pernah meratifikasi perjanjian tahun 1997, meski menyatakan menghargainya. Namun, pakar hukum internasional Don Rothwell dari Universitas Nasional Australia, yakin kesepakatan Australia-Timor Leste ini membuat pintu bagi Indonesia untuk menegosiasikan ulang perbatasannya dengan Australia, sama seperti yang dilakukan Timor Leste.
"Karena Indonesia belum meratifikasi, hal itu membuat Indonesia bisa meminta Australia dan mengatakan ingin meninjau kembali aspek-aspek tertentu dari perjanjian tersebut. Terutama mengingat pengaturan batas maritim yang Australia lakukan sekarang dengan Timor Leste," kata Profesor Rothwell.
"Hal itu bisa menimbulkan kerumitan serius bagi Australia dalam menghadapi kemungkinan negosiasi ulang batas maritim yang signifikan dengan Indonesia, yang membentang dari Timor Barat hingga ke Jawa dan Samudra Hindia," ujarnya.
Tantangan bernegosiasi
Yang paling menjadi perdebatan adalah batas "lateral" yang membentas lurus dengan garis tengah antara Australia dan Timor Leste. Lapangan Greater Sunrise terletak di batas lateral timur, sangat dekat dengan batas Australia-Indonesia saat ini. Jika Indonesia ingin mempermasalahkan isu ini, kemungkinan ada implikasi signifikan terhadap kedaulatan maritim Australia serta hak atas Greater Sunrise.
"Saya pikir (Indonesia) akan mengatakan, Australia secara efektif siap menentukan ulang perbatasan dengan Timor Leste," kata Profesor Rothwell.
"Jika Australia siap menegosiasikan ulang perbatasan dengan Timor Leste, mengapa Australia tidak bisa menegosiasikan ulang juga perbatasan dengan Indonesia yang telah diselesaikan dahulu," jelasnya.
"Tentu hal ini akan menimbulkan kompleksitas karena akan terjadi negosiasi tiga arah mengenai bagaimana area dasar dasar laut itu harus disepakati," tambahnya.
Profesor Rothwell mengatakan Australia tentu saja membuat pejabat Indonesia mengetahui perundingan batas dengan Timor Leste, untuk menghindari kemungkinan seperti itu. Namun dia mengatakan Indonesia sampai sekarang belum menyatakan kemungkian sikap mereka terhadap kesepakatan baru di Laut Timor.
"Namun ada prinsip umum dalam hukum internasional perbatasan harus dihormati, dan tidak ditentukan ulang," katanya.
"Dan begitu perjanjian disepakati, harus diterima. Negara-negara terikat oleh perjanjian dengan itikad baik," jelasnya.
Itikad baik merupakan satu hal tapi miliaran dolar cadangan migas merupakan hal berbeda. ABC Australia telah menghubungi pejabat terkait di Indonesia dan pakar maritim, namun belum mendapat tanggapan.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.