Kamis 10 Jan 2013 13:49 WIB

Kamboja Pancarkan Sinyal 'Overheating'

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Djibril Muhammad
Kamboja
Kamboja

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Lebih dari dua dekade terakhir, kita melihat banyak negara berpendapatan rendah melakukan transformasi luar biasa untuk mengangkat ekonominya dari jurang kemiskinan.

Asia menggenjot berbagai macam investasi sehingga bermunculan negara-negara berkembang yang menjadi tumpuan ekonomi dunia baru, seperti Kamboja.

Kini, setelah jutaan penduduk Asia terangkat dari jurang kemiskinan, masalah baru datang. Dana Moneter International (IMF) membawa kabar buruk untuk negara penerus 'Kekaisaran' Khmer itu. IMF memperingatkan ledakan kredit memunculkan ancaman baru bagi pertumbuhan ekonomi Kamboja.

Bank Sentral Kamboja telah memangkas suku bunga demi menarik konsumen dan kredit sektor swasta yang angkanya sudah meningkat sepertiga kali sepanjang 12 bulan terakhir. Tingkat pinjaman Kamboja sudah mencapai 37 persen dari pendapatan ekonominya.

Hal itu sudah di atas batas normal sebagian besar negara-negara berpendapatan rendah di dunia. Jika pertumbuhan pasar kredit swasta terus berlanjut, ini kemungkinan memberi sinyal kepanasan ekonomi alias overheating bagi Kamboja.

Bank Nasional Kamboja mengambil langkah untuk memperketat dan memperlambat pinjamannya. Caranya, meningkatkan jumlah cadangan uang. Ini memperkecil kesempatan masyarakat mengakses uang tunai dalam bentuk pinjaman.

Meski demikian, perwakilan IMF menilai langkah Bank Nasional Kamboja bukan berarti mempersempit penyaluran kredit sebab masih perlu langkah-langkah lanjutan.

"Bank Kamboja masih memiliki kelebihan likuiditas. Sejumlah perbankan bisa menurunkan suku bunga untuk memperluas persaingan suku bunga demi memperbesar pasar," kata perwakilan IMF, dikutip dari BBC, Kamis (10/1).

Beberapa di antaranya bisa memperoleh pendanaan eksternal yang lebih murah dari bank asing. IMF juga menyarankan bank sentral menerapkan langkah efektif lainnya untuk mengurangi pertumbuhan kredit.

Sejak 2008, negara monarki konstitusional ini menghadapi gelembung ekonomi akibat ledakan pertumbuhan real estate. Industri garmen dan alas kaki merupakan sumber utama perekonomian Kamboja yang tengah menghadapi persoalan buruh kompleks.

Hampir 400 ribu orang Kamboja bekerja di pabrik-pabrik yang memproduksi merek terkenal, seperti GAP, Adidas, dan Marks & Spencer. Sayangnya, upah pokok pekerja masih dibayar rendah dengan minimal 61 dolar AS atau sekitar Rp 600 ribu per bulan.

Tak hanya itu, pabrik-pabrik di Kamboja sebagian besarnya justru didominasi asing. Pengamat perburuhan di Organisasi Buruh Internasional (ILO), Nuon Laong, mengatakan monopoli pekerja asing atau ekspatriat di Kamboja semakin kencang. Sebagian besarnya berasal dari Cina, Singapura, dan Bangladesh.

Budaya dan bahasa berbeda, kata Laong, membuat pekerja lokal dan asing sering terlibat perselisihan di tempat kerja. "Bekerja lintas budaya mungkin memberika banyak masalah dan banyak konflik," katanya. Seringkali masalah berawal dari hal-hal kecil yang berkembang menjadi masalah besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement