REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis mengatakan bukti dugaan serangan gas beracun di Suriah kemungkinan besar hilang. Prancis meminta pemeriksa internasional diberi peluang penuh dan segera ke tempat serangan tersebut.
Pasukan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis menggempur Suriah dengan serangan udara pada Sabtu dinihari (14/4) sebagai balasan atas dugaan serangan senjata kimia pada 7 April di Douma. Serangan senjata kimia itu menurut mereka dilakukan pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Pemeriksa dari Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) berangkat ke Suriah pada pekan lalu untuk menyelidiki tempat itu, yang kini dikendalikan pemerintah setelah pemberontak mundur.
"Hingga hari ini, Rusia dan Suriah masih menolak memberikan jalan kepada pemeriksa ke tempat serangan itu," kata kementerian luar negeri Prancis dalam pernyataan, "Kemungkinan besar, bukti, dan zat terpenting menghilang dari tempat tersebut."
Badan pemberi bantuan mengatakan puluhan pria, perempuan, dan anak-anak tewas dalam serangan itu. "Adalah yang penting bagi Suriah untuk memberikan akses penuh, segera dan tanpa kekangan terhadap seluruh permintaan OPCW, apakah itu untuk mengunjungi lokasi, mewawancarai orang-orang atau memeriksa dokumen," katanya.
Duta Besar Amerika Serikat Kenneth Ward mengatakan dalam pertemuan OPCW di Den Haag bahwa Rusia kemungkinan telah mengutak-atik bukti. "Menurut pemahaman kami, Rusia kemungkinan sudah mendatangi lokasi serangan," katanya ketika menyampaikan komentar dalam pertemuan tertutup.
"Yang dikhawatirkan adalah bahwa mereka mengutak-atik dengan niat untuk menggagalkan Tugas Pencari Fakta OPCW dalam menjalankan penyelidikan," katanya.