Sabtu 27 Feb 2016 15:11 WIB

Kisah Perempuan Swedia yang Hidup dengan ISIS

Gerilyawan ISIS
Foto: EPA/Mohammed Jalil
Gerilyawan ISIS

REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Marilyn Nevalainen baru berusia 15 tahun, dan hamil, ketika dia meninggalkan Swedia karena perekrutan kelompok garis keras. Meskipun dia tidak menyadari apa kesalahan yang telah dia buat sampai dia berada di Irak.

Dia putus asa dan menelepon ke rumah dari kubu ISIS di Mosul di Irak utara untuk meminta pertolongan, dan akhirnya diselamatkan oleh pasukan Kurdi. Pada Jumat (26/2), juru bicara Kementerian Luar Negeri Swedia, Veronica Nordlund, kepada AFP mengatakan Nevalainen, yang berasal dari kota Boras di bagian barat daya Swedia, telah "berkumpul kembali dengan keluarganya di Swedia".

Dia tiba di Stockholm pada Kamis (25/2) bersama orangtuanya, yang telah melakukan perjalanan ke Irak beberapa kali selama delapan bulan terakhir untuk mencoba membawanya pulang ke rumah, menurut surat kabar setempat, Boras Tidning.

Polisi mengatakan bahwa pacarnya, seorang Maroko yang mencapai Swedia tanpa pendamping tiga tahun lalu, telah meninggal. Pasukan Kurdi menyelamatkan perempuan itu dekat Mosul pada 17 Februari, menurut pernyataan dari Dewan Keamanan Kawasan Kurdistan.

Nordlund tidak akan mengungkapkan banyak rincian penyelamatan, meskipun dia menegaskan penyelamatan itu adalah hasil dari kerja sama antara otoritas Swedia dan pemerintah asing. Dalam sebuah wawancara yang disiarkan pekan ini oleh saluran televisi Kurdistan 24, warga Swedia itu mengatakan dalam bahasa Inggris bahwa dia bertemu pacarnya pada 2014 dan dia menjadi radikal setelah menonton video ISIS.

"Kemudian dia mengatakan dia ingin pergi ke ISIS (akronim lain untuk IS) dan saya berkata, 'Baiklah, tidak ada masalah," karena saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan ISIS atau apa itu Islam," katanya.

Dia hamil ketika mereka meninggalkan Swedia pada Mei 2015, menggunakan kereta dan bus di seluruh Eropa sampai akhirnya mereka menyeberangi perbatasan dari Turki ke Suriah. Mereka kemudian dibawa oleh garis keras ISIS ke Mosul.

"Di rumah saya, kami tidak punya apa-apa, tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada apa-apa. Keadaan itu benar-benar berbeda dengan bagaimana saya hidup di Swedia, karena di Swedia kami mempunyai segalanya, dan ketika saya berada di sana saya tidak punya apa-apa, tidak punya uang sama sekali. Itu adalah kehidupan yang sangat keras," katanya.

"Ketika saya bisa menelepon, saya mulai menghubungi ibu saya dan saya berkata saya ingin pulang. Dia menghubungi otoritas Swedia," katanya kepada saluran televisi, Kurdistan 24.

Media Swedia telah menerbitkan pesan teks putus asa yang dia kirim kepada ibunya saat dia terjebak di Irak. "Saya akan mati dalam pemboman atau mereka akan memukuli saya sampai mati atau aku akan bunuh diri ibu, sungguh, saya tidak kuat untuk pergi," tulisnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement