Senin 28 Aug 2017 11:29 WIB

Konflik Rakhine, Puncak Gunung Es Diskriminasi Myanmar

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Winda Destiana Putri
  Kondisi bangunan yang terbakar akibat konflik di Thandwe, Rakhine, Myanmar, Rabu (2/10).  (AP/Khin Maung Win)
Kondisi bangunan yang terbakar akibat konflik di Thandwe, Rakhine, Myanmar, Rabu (2/10). (AP/Khin Maung Win)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Politik Internasional LIPI Sandy Nur Ikfal Raharjo mengatakan, bentrokan di Rakhine State pekan ini dipicu oleh berita diserangnya kamp pengungsi warga Muslim oleh aparat Pemerintah Myanmar yang mengakibatkan terbunuhnya dua orang warga Muslim. Tindakan tersebut telah menimbulkan kemarahan masyarakat dan kelompok bersenjata yang akhirnya berujung pada penyerangan puluhan pos polisi di wilayah tersebut.

Pada faktor yang bersifat akselerator, sudah ada perdebatan antarkelompok terkait isu orang-orang Muslim Rohingya apakah bagian dari etnis asli Myanmar atau bukan. Kelompok yang pro-Rohingya mengatakan bahwa mereka adalah penduduk asli Myanmar yang sudah menempati wilayah Rakhine jauh sebelum era kolonisasi Inggris.

"Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa Rohingya harus dicatat sebagai salah satu kelompok etnis di Myanmar dan diberikan hak kewarganegaraan. Di sisi lain, pemerintah dan kelompok yang anti Rohingya yang lebih besar kekuatannya mengatakan bahwa orang Rohingya tidak pernah menjadi ras asli nasional di Myanmar, tetapi mereka adalah imigran dari Bengal yang datang setelah Perang Anglo-Burma tahun 1824. Sebagai imigran, mereka tidak berhak mendapatkan kewarganegaraan," katanya, Senin (28/8).

Selain isu penolakan sebagian besar warga Budha Myanmar terhadap pengakuan etnis Rohingya, isu lain yang juga menjadi perhatian adalah adanya kecemburuan dan kecurigaan terhadap orang-orang minoritas Rohingya. Populasi masyarakat Muslim Rohingya terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.

Perkembangan tersebut, terang Sandy, kemudian menimbulkan persaingan dengan orang-orang Budha Rakhine, baik dalam hal penguasaan lahan maupun dalam hal ekonomi dan bisnis. Dengan demikian, kepentingan yang sebenarnya bukanlah kebutuhan untuk menjaga eksistensi agama Budha, tetapi lebih kepada kepentingan ekonomi.

Pada faktor yang bersifat struktural (mendasar), konflik di Rakhine sebenarnya merupakan puncak gunung es dari serangkaian kebijakan diskiminatif Pemerintah Myanmar sejak tahun 1962. Proses diskriminasi dilakukan secara sistematis, misalnya melalui pemisahan tempat tinggal warga Muslim dengan warga mayoritas Budha, perampasan berbagai hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan melalui kebijakan untuk tidak memberikan status warga negara bagi orang-orang Muslim Rohingya.

Mereka diharuskan membayar ketika ingin mengunjungi desa tetangga. Mereka juga tidak diizinkan untuk melakukan perjalanan ke lebih dari tiga kota. Mereka juga dibatasi aksesnya terhadap pendidikan tingkat kedua dan ketiga serta layanan-layanan publik lainnya.

"Diskriminasi ini kemudian lama-kelamaan memengaruhi cara pandang orang-orang Budha yang mayoritas terhadap orang Islam yang minoritas. Akibatnya, terjadi stereotip-stereotip negatif terhadap mereka sehingga diskiriminasi juga akhirnya dilakukan oleh warga masyarakat."

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika konflik komunal warga Budha dengan warga Muslim tidak hanya terjadi pada tahun 2012–2013 saja, tetapi sebelumnya juga pernah terjadi pada tahun 1978, 1992, 2001, dan 2009.

Lalu, bagaimana cara penyelesaian yang dapat dilakukan? konflik komunal di Rakhine sudah masuk pada tahap limited destructive blows (penyerangan yang bersifat destruktif). Pada tahap ini seharusnya resolusi konflik sudah tidak dapat lagi mengandalkan kemampuan dan kemauan antarkelompok Budha dan Muslim yang berkonflik untuk menyelesaikan masalah melalui negosiasi.

Langkah resolusi konflik yang dapat dilakukan adalah melalui mediasi atau arbitrasi pihak ketiga, dan juga sudah dapat menggunakan intervensi kekuatan (militer). Kemudian terkait dengan peran pemerintah yang justru ikut mensekuritisasi konflik maka tekanan dari dunia internasional perlu diperkuat agar mereka bertanggung jawab menyelesaikan konflik internal tersebut.

Dalam hal ini, ASEAN sebenarnya diharapkan dapat merangkul pemerintah Myanmar untuk berperan aktif dan netral dalam penyelesaian konflik. Namun, seperti diketahui bahwa ASEAN sangat menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dan kedaulatan masing-masing negara anggota, sehingga sulit untuk mengharapkan ASEAN melakukan langkah konkrit selain himbauan-himbauan yang bersifat normatif.

Tekanan yang lebih besar justru dapat dilakukan oleh negara-negara di luar ASEAN seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Jika kekerasan terus terjadi dan semakin parah bahkan menunjukkan adanya upaya nyata dilakukannya genosida terhadap warga Muslim Rohingya dan Rakhine, konsep Responsibility to Protect melalui intervensi kekuatan militer dari PBB dapat menjadi faktor deterrence (penggertak) agar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, termasuk pemerintah Myanmar, menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia.

"Paling penting, penyelesaian konflik hanya dapat dilakukan jika faktor struktural dihilangkan, yaitu melalui pencabutan kebijakan (undang-undang) yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas Muslim di Myanmar," ujar Sandy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement