Rabu 13 Sep 2017 12:18 WIB

Kisah Putri Melayu Jadi Presiden tanpa Pemilu

Rep: marniati/fitriyan zamzami/ Red: Fitriyan Zamzami
Halimah Yacob.
Foto: The Independent
Halimah Yacob.

REPUBLIKA.CO.ID, Masa-masa awal kehidupan Halimah Yacob bukannya mudah. Perempuan yang lahir pada 23 Agustus 1954 di Queen Street, Singapura, tersebut kehilangan ayahnya yang wafat saat ia baru berusia delapan tahun.

Untuk menghidupi keluarga, ibundanya, seorang perempuan etnis Melayu, kemudian berjualan nasi padang, salah satu kuliner kegemaran warga Singapura, dengan gerobak keliling di Shenton Way. Dilansir the Straits Times, Halimah kerap membantu ibundanya berjualan kala itu. Mulai dari membersihkan lapak hingga melayani penjual.

Bersinar sebagai satu-satunya murid Melayu pada Sekolah Putri Tionghoa di Singapura, jalan kehidupan Halimah kemudian perlahan menuntunnya ke posisi saat ini: satu-satunya calon presiden yang diloloskan komisi pemilihan umum setempat (ELD) dalam Pemilihan Presiden Singapura 2017.

Artinya, saat dilantik Rabu (13/9) ini, mantan ketua parlemen dari partai penguasa Partai Aksi Rakyat (PAP) itu akan jadi presiden perempuan pertama di Singapura. Warisan primordialnya sebagai Melayu Muslim jadi nilai tambah. Tapi, bagaimana ceritanya Halimah jadi presiden tanpa pemungutan suara? 

Hal tersebut bisa dirujuk dari mula berdirinya negara pulau tempat Halimah hidup pada 1965 silam. Saat itu, partisi Singapura dan Malaysia selepas berakhirnya masa kolonialisme Inggris memunculkan demografi khas di dua negara tersebut.  Di Malaysia etnis Melayu menjadi mayoritas, sementara etnis Tionghoa membentuk mayoritas di Singapura. Penduduk Singapura terdiri atas tiga etnis utama, yakni etnis Tionghoa (74 persen), Melayu (13 persen), dan India (sembilan persen).

Pada awal mula terbentuknya negara tersebut, bentrokan etnis jadi ancaman dan akhirnya ditengahi dengan rerupa regulasi. Para pendiri kedua negara meyakini, perdamaian bergantung pada pelestarian harmoni antara kedua kelompok. 

2016 lalu, pemerintah Singapura menerbitkan regulasi baru dengan dalih pemeliharaan harmoni tersebut. Klausul utamanya, jika dalam lima periode kepresidenan berturut-turut calon dari etnis tertentu tak sekalipun terpilih, pencalonan periode selanjutnya hanya boleh diikuti anggota etnis yang belum pernah menjabat tersebut.

"Semua warga, Cina, Melayu, India, atau ras lainnya, harus dipastikan pernah menjabat jadi presiden dari waktu ke waktu," ujar Perdana Menteri Lee Hsien Loong kepada parlemen saat mengajukan regulasi itu pada November 2016 seperti dilansir Reuters. Mengingat kebanyakan anggota parlemen separtai dengan PM Lee, regulasi itu kemudian diloloskan.

Presiden Melayu terakhir yang pernah dimiliki Singapura adalah Yusof Ishak yang menjabat pada 1965 hingga 1970. Otomatis, tahun ini hanya etnis Melayu yang boleh mengajukan calon.

Sebuah laporan pemerintah yang diterbitkan pada tahun 2013 menyimpulkan, orang-orang Melayu terkadang merasa didiskriminasikan dan memiliki prospek terbatas di beberapa institusi, seperti angkatan bersenjata. Kebijakan pendidikan dan ekonomi Singapura telah membantu menciptakan jajaran kelas menengah Melayu, tetapi sensus terakhir pada 2010 menunjukkan, mereka tertinggal dari kelompok etnis lain mengenai tindakan sosio-ekonomi, seperti pendapatan rumah tangga dan kepemilikan rumah.

Ironisnya, dalam peraturan baru tersebut juga disertakan prasyarat bahwa calon presiden dari pihak swasta harus menduduki jabatan di perusahaan yang memiliki nilai saham minimal 500 juta dolar Singapura, setara Rp 4,6 triliun. Syarat lainnya, harus pernah menjabat pembicara di parlemen selama tiga tahun.

Bagaimanapun, Halimah menyatakan kesediaannya mencalonkan diri pada 2016. Keanggotaannya sebagai kader PAP sebagai partai penguasa memuluskan pencalonan tersebut.

Pengalaman wanita melayu ini sebagai pembicara di parlemen selama lebih dari tiga tahun secara otomatis memenuhi syarat peraturan pencalonan. Bukan Halimah sendirian yang mengajukan diri. Sedianya ada empat pemohon lainnya. Kendati demikian, ELD menggugurkan dua di antaranya karena tidak lolos uji sebagai anggota etnis Melayu.

Sedangkan dua lainnya, Mohamed Salleh Marican dan Farid Khan tidak lolos syarat nilai saham perusahaan. Keduanya mengonfirmasi, permohonan mereka telah ditolak dua hari lalu.

Pemungutan suara calon presiden Singapura baru akan dihelat pada 23 September 2017. Sedangkan pernyataan soal siapa saja yang bisa mengikuti kontestasi baru akan diumum kan ELD pada Rabu (13/9) ini.

Namun sejak Senin (11/9), ELD telah menetapkan Halimah sebagai satu-satunya calon yang memenuhi seluruh kriteria. Sebab itulah, hari ini, presiden perempuan pertama Singapura rencananya dilantik. Ia akan menggantikan Tony Tan yang masa jabatannya berakhir 31 Agustus lalu.

"Saya hanya bisa mengatakan bahwa saya berjanji untuk melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan untuk melayani masyarakat Singapura, dan itu tidak berubah apakah ada pemilihan atau tidak ada pemilihan," katanya kepada wartawan yang berkumpul di ELD. 

Kendati konstitusi Singapura menetapkan presiden sebagai kepala negara, posisi tersebut lebih bersifat seremonial sehubungan sistem politik parlementer yang dianut negarakota tersebut. Kekuasaan eksekutif sebagian besar ditangan perdana menteri yang sejak kemerdekaan Singapura selalu diisi etnis Tionghoa.

Sedikit kewenangan yang dimiliki presiden di Singapura adalah bisa memveto pengeluaran negara serta mengganti dan mengangkat pejabat publik. Kendati demikian, Farid Khan, pesaing Halimah yang gagal lolos menilai terpilihnya Halimah adalah kabar baik bagi orang Melayu. Ia berharap, akan lebih banyak jabatan politik yang diisi etnis tersebut.

Namun, optimisme itu tak dibagi seluruh warga Singapura. Sejak pengumuman lolosnya Halimah sebagai calon tunggal, tagar #NotMyPresident, menyeruak di jagat media sosial negara jiran tersebut. Sebagian warganet Singapura menyayangkan, mereka tidak bisa menyalurkan hak pilih di bilik-bilik suara tahun ini.

Selebritas dan komedian Melayu Hirzi Zulkiflie juga menahan kebanggaannya. Menurut dia, Halimah yang diusung partai penguasa terbantu dengan beratnya syarat pencalonan. "Ini merendahkan kredibilitas orang Melayu karena hanya dengan pemilihan yang telah diatur kita bisa jadi presiden," ujarnya. n

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement