Kamis 16 Nov 2017 14:43 WIB

Perempuan Rohingya Mengaku Diperkosa 10 Tentara

Rep: Marniati/ Red: Teguh Firmansyah
 Ribuan pengungsi muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar(ilustrasi).
Foto: AP/Dar Yasin
Ribuan pengungsi muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar(ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, UNITED NATIONS -- Human Rights Watch menuduh pasukan keamanan Myanmar melakukan pemerkosaan terhadap perempuan dan anak perempuan sebagai bagian dari kampanye pembersihan etnis selama tiga bulan terakhir terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine .

Tuduhan yang disampaikan oleh kelompok hak asasi manusia yang berbasis di New York ini melengkapi tuduhan serupa yang disampaikan utusan khusus PBB tentang kekerasan seksual dalam konflik, Pramila Patten. Ia mengatakan, kekerasan seksual diperintahkan, diatur dan dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Myanmar.

Human Rights Watch mewawancarai 52 perempuan dan gadis Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh. Sebanyak 29 di antaranya mengaku mereka telah diperkosa. Salah satu korban menyebut dirinya Sadak,

Sadak, yang berusia 15 tahun dari desa Hathi Para di Kotapraja Maungdaw, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ia telah diperkosa oleh 10 orang tentara. "Ketika saudara laki-laki dan perempuan saya datang untuk menjemput saya, saya terbaring di sana di tanah, mereka mengira saya sudah mati," katanya.

HRW menilai kasus pemerkosaan sebagai ciri yang menonjol dalam upaya pembersihan etnis.  "Pemerkosaan telah menjadi ciri menonjol dan menghancurkan kampanye pembersihan etnis Myanmar terhadap Rohingya," kata peneliti darurat hak-hak perempuan di Human Rights Watch dan penulis laporan,

Skye Wheeler.

Ia mengatakan tindakan kekerasan militer Myanmar telah menyebabkan banyak perempuan dan anak perempuan terluka dan mengalami trauma mendalam. Human Rights Watch meminta Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan embargo senjata ke Myanmar dan menargetkan sanksi terhadap pemimpin militer yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan seksual.

Dewan yang beranggotakan 15 orang tersebut pekan lalu mendesak pemerintah Myanmar untuk memastikan tidak ada penggunaan kekuatan militer berlebihan di negara bagian Rakhine. "Hal tersebut meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk melaporkan kembali dalam 30 hari mengenai situasi tersebut," katanya.

Myanmar mengatakan operasi pembersihan militer diperlukan untuk keamanan nasional setelah militan Rohingya menyerang 30 pos keamanan dan sebuah pangkalan militer di negara bagian Rakhine pada 25 Agustus.

Myanmar menolak masuk ke panel PBB yang ditugaskan untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran setelah serangan militer pada Oktober 2016.

Militer Myanmar merilis sebuah laporan pada Senin yang menolak semua tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan oleh pasukan keamanan, beberapa hari setelah mengganti jenderal yang bertanggung jawab atas operasi yang mendorong lebih dari 600 ribu Muslim Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh.

Perserikatan Bangsa Bangsa telah mengecam kekerasan tersebut sebagai contoh klasik pembersihan etnis. Pemerintah Myanmar membantah tuduhan pembersihan etnis.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement