Sabtu 25 Nov 2017 07:50 WIB

Majelis Kota Kumamoto Usir Bayi Keluar dari Ruang Rapat

Yuka Ogata's baby boy was considered a visitor and hence not permitted to attend.
Foto: BBC
Yuka Ogata's baby boy was considered a visitor and hence not permitted to attend.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Menggambarkan betapa beratnya rintangan yang dihadapi perempuan pekerja di Jepang, seorang legislator membawa bayinya ke pertemuan majelis kota kota Kumamoto di Jepang.

Kehadiran bayi laki-laki berusia tujuh bulan itu rupanya tak dikehendaki di majelis kota. Seorang pejabat segera meminta sang ibu, Yuka Ogata, untuk membawa bayinya keluar ruangan.

Peristiwa pada Rabu lalu itu terjadi lantaran adanya peraturan membatasi kehadiran anggota majelis, kata pejabat kota Naoya Oshima.

Ogata mencoba untuk tetap tinggal, namun pembicara majelis akhirnya membujuknya untuk membawa bayinya keluar. Dia kemudian menyerahkan bayinya kepada pengasuh dan kembali.

"Saya ingin menyoroti kesulitan yang dihadapi wanita yang mencoba berkarir dan membesarkan anak-anak," kata Ogata, 42, seperti dikutip harian Asahi Shimbun.

Ogata belum dapat dimintai komentar.

Para pakar ekonomi mengatakan bahwa populasi Jepang semakin cepat menua, sehingga menempatkan perempuan ke dalam angkatan kerja sangat penting.

Perdana Menteri Shinzo Abe telah meningkatkan jumlah pekerja wanita menjadi bagian penting dari rencana ekonominya, antara lain dengan menjanjikan akan meningkatkan keberadaan penitipan anak.

Abe mengatakan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2013 bahwa dia akan menciptakan "sebuah masyarakat tempat perempuan dapat bersinar", namun baru sedikit kemajuan yang dicapai.

Jepang berada di peringkat 114 dari 144 dalam laporan Kesenjangan Gender Global Forum Ekonomi Dunia 2017. Posisi Jepang itu jatuh 13 tingkat sejak Abe mengambil alih kekuasaan.

Abe hanya menempatkan dua wanita ke jabatan menteri dalam perombakan kabinet pada Agustus, masing-masing turun tiga dan lima perempuan dari dua kabinet sebelumnya.

Jumlah wanita yang menjadi anggota parlemen Jepang tercatat hanya 14 persen.

Hukum ketenagakerjaan Jepang tidak memiliki sistem resmi untuk cuti hamil atau cuti keluarga bagi politisi.

Pada 2000, seorang anggota parlemen nasional di Partai Liberal Demokrat Abe mengambil tiga hari libur dari parlemen untuk melahirkan, yang mendorong legislatif untuk mengizinkan cuti hamil bagi anggotanya.

Sebanyak 12 anggota parlemen telah memanfaatkan cuti, diberi cuti hamil paling lama tiga bulan, demikian menurut laporan harian Mainichi Shimbun tahun ini.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement