REPUBLIKA.CO.ID,BRUSSELS--Kepala urusan luar negeri Eropa Bersatu pada Jumat menyeru pemerintah Thailand menghormati hak asasi manusia setelah penumpasan maut atas penentang pemerintah, dengan menyatakan kekerasan itu "menyakiti Thailand"."Saya secara mendalam sedih oleh kehilangan nyawa di Bangkok dan tempat lain di Thailand," kata pernyataan Wakil Tinggi Eropa Bersatu Catherine Ashton.
"Kekerasan itu tidak memecahkan masalah apa pun, selain hanya menyakiti Thailand dan rakyatnya, dengan memperdalam perpecahan daripada menyembuhkannya," tambahnya. Di Bangkok, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajive menyatakan ketertiban sudah pulih dan membela penumpasan atas pengunjukrasa Baju Merah pada Rabu, yang menewaskan 15 orang, termasuk seorang juru potret Italia.
Wakil Tinggi Eropa Bersatu Ashton mengirim belasungkawanya kepada keluarga korban itu dan menekankan bahwa "rujuk bangsa sekarang merupakan kebutuhan mutlak". Ia menyeru yang berwenang Thailand "memulihkan ketertiban umum dengan penuh hormat pada hak asasi manusia dan kebebasan asasi" dan penentang terlibat dengan pemerintah "tanpa menggunakan kekerasan, bekerja bersama bagi kebaikan negara itu".
Sebagai "teman Thailand, Eropa Bersatu tidak bisa tidak peduli", tambah warga Inggris itu, dengan menawarkan diri menolong membangun mufakat menuju rujuk bangsa. Badan terkemuka hak asasi manusia pada Jumat mengungkapkan bahaya bahwa pemerintah Thailand menggunakan aturan keras darurat dalam kekerasan politik untuk menahan penentang di tahanan rahasia.
Human Rights Watch, yang berpusat di New York, menyatakan prihatin bahwa pengunjuk rasa Baju Merah penentang pemerintah rentan terhadap perlakuan buruk setelah ditangkap petugas keamanan Thailand dan dibawa ke tempat rahasia tanpa dakwaan. "Tempat penahanan rahasia dan pejabat tidak mumpuni adalah resep untuk pelanggaran hak asasi manusia," kata pernyataan Elaine Pearson, pelaksana direktur Asia Human Rights Watch.
"Yang ditangkap harus segera dibawa ke pengadilan dan dituduh melakukan tindak pidana atau dibebaskan," tambahnya. Pemerintah menangkap delapan pemimpin Baju Merah dan banyak pendukung mereka pada pekan ini, ketika tentara bergerak membubarkan ribuan pengunjukrasa dari perkemahan luas mereka di daerah niaga utama Bangkok.
Sejak Baju Merah memulai gerakan jalanan pada tengah Maret, 83 orang, termasuk dua wartawan asing, tewas akibat bentrok dan ledakan serta 1.800 lagi luka. Puluhan bangunan menjadi puing setelah tindakan keras tentara itu dan Human Rights Watch menyatakan "bahaya" atas laporan kekuasaan luas aturan darurat digunakan untuk secara rahasia menahan orang di markas tentara, bukan penjara.
Badan itu menyatakan bahaya "penghilangan", penyiksaan, dan pelanggaran lain sangat meningkat saat tahanan dikurung tentara, yang tidak memiliki pelatihan penegakan hukum warga. Badan itu pada pekan ini menuduh baik pasukan keamanan Thailand maupun Baju Merah melakukan pelanggaran besar selama tindakan keras Bangkok tersebut.
Amnesti Internasional pada Selasa menuduh tentara Thailand tidak henti menggunakan senjata tajam dalam membersihkan pengunjuK rasa tersebut. Kelompok pengamat hak asasi manusia bermarkas di London itu menyatakan tentara Thailand melanggar undang-undang dengan menembakkan peluru tajam di beberapa daerah di sekitar Bangkok dalam lima hari kerusuhan, yang dipicu upaya menutup kawasan unjukrasa Baju Merah.