REPUBLIKA.CO.ID, PARIS--Seruan Jerman dan Perancis untuk menetapkan hukuman lebih keras terhadap negara-negara anggota Uni Eropa yang melanggar peraturan defisit anggaran, mengalami penolakan luas. Luksemburg, Ceko dan Austria dalam pertemuan Dewan Menteri Uni Eropa kemarin di Luksemburg mengumumkan tidak akan mendukung tuntutan Jerman Perancis untuk mengubah Kesepakatan Uni Eropa guna memperketat Pakta Stabilitas mata uang Euro.
Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy ingin para pelanggar batasan defisit anggaran jika perlu dicabut hak suaranya dalam Dewan Menteri dan membentuk mekanisme pertolongan baku bagi negara-negara Uni Eropa yang dinilai lemah. Hal itu disepakati Merkel-Sarkozy di sela-sela pertemuan segitiga dengan Rusia di Deauville, Perancis.
Menteri Luar Negeri Luksemburg Jean Asselborn menyebut permintaan Jerman-Perancis itu tidak masuk akal dan merasa gusar. "Saya pikir perdebatan itu benar-benar salah. Jika orang menetapkan sasaran, melakukan perubahan perjanjian dan mundur ke abad 19, untuk menjalankan kembali hak sensus, itu berarti orang membuat kesalahan!" ujarnya.
Hak sensus yang pernah berlaku di Eropa maksudnya, siapa yang membayar lebih banyak juga boleh lebih banyak mengambil keputusan.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwelle, mengakui adanya penolakan kuat untuk bentuk sanksi yang diminta Jerman-Perancis tersebut. Namun rencana untuk melibatkan pemberi kredit swasta dalam menanggung biaya krisis mendapat dukungan luas. Westerwelle juga menekankan ia menggarisbawahi perlunya peraturan yang lebih ketat.
"Jika akan terdapat mekanisme krisis yang baru maka hal ini perlu juga dipertimbangkan dalam rumusan peraturan. Artinya, untuk itu berbagai peraturan juga akan mengalami perubahan," tegasnya.
Beberapa hari menjelang pertemuan puncak Uni Eropa, Jerman dan Perancis terkucil dengan tuntutannya tersebut. Bocoran ini disampaikan Menteri Luar Negeri Austria Michael Spindelegger hari Senin dalam pertemuan menteri luar negeri Uni Eropa di Luksemburg.
"Di sisi lain kita juga harus mempertimbangkan bahaya: Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk perubahan perjanjian. Apakah semua itu salah? Orang harus benar-benar mempertimbangkannya," ujarnya.
Dalam hal ini Menteri Luar Negeri Luksemburg Asselborn mengingatkan akan timbul ancaman bahwa Uni Eropa selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun kembali berkutat dengan dirinya sendiri. Perjanjian Lissabon baru berlaku 9 bulan lalu, setelah 10 tahun tarik-ulur.