REPUBLIKA.CO.ID, JUBA - Bentrokan senjata antara pemberontak dan pasukan Sudan Selatan di negara bagian Jonglei yang kacau menewaskan 105 orang, kata seorang juru bicara militer selatan, Jumat (11/2), meningkat tajam dari korban sebelumnya 16 orang. "Di pihak militer yang termasuk SPLA, polisi dan petugas penjara 20 orang tewas di kota Fangak, sementara 30 orang pendukung Athor tewas, " kata Philip Aguer AFP.
Ia mengacu pada jenderal George Athor dari selatan yang membangkang dan para pendukungnya melancarkan serangkaian serangan terhadap pasukan Tentara Pemebasan Rakyat Sudan(SPLA), yang memicu 'gencatan senjata permanen' yang mereka tandatanganui bulan lalu. "Menyakitkan, ada 39 warga sipl tewas termasuk wanita dan anak-anak dan 65 lainnya cedera," serta 30 tentara SPLA cedera, tambah Aguer.
Jumlah korban tewas dari pertempuran di kota Fangak Rabu petang dan Kamis pagi itu menambah jumlah korban sebelumnya 16 orang tewas dalam bentrokan senjata antara pasukan selatan dan pemberontak di daerah Door, kota Fangak. "Jumlah korban itu tinggi karena serangan-serangan tersebut dilakukan secara mendadak. Ini adalah sesuatu yang kita tidak harapkan karena kita mempercayai gencatan senjata yang telah ditandatangani itu," kata Aguer.
Tidak ada tanggapan langsung dari Athor, ketika AFP berusaha menguhubunginya melalui telepon, tapi berbicara dengan radip 'Sudan Radio Service' yang independen, Kamis ia menuduh tentara selatan memulai serangan-serangan itu. Jendral yang membangkang itu melakukan pemberontakannya tahun lalu serelah ia mengaku ditipu dalam pemilihan guberbur negara bagian Jonglai, yang paling banyak penduduknya di wilayah selatan itu.
Para pendukung Athor yang mendatangani prjanjian gencatan senjata Januari dengan militer selatan itu hanya beberapa hari sebelum referendum bersejarah mengenai kemerdekaan bagi wilayah selatan itu, tetapi ia sendiri tidak menghadiri acara pendatanganan di ibu kota wilayah itu Juba. Para pejabat selatan menuduh ia menggunakan periode gencatan senjata untuk merekrut lagi para petempur.
Serangan-serangan itu dilakukan hanya beberapa hari setelah konfirmasi resmi tentang hasil referendum 9-15 Januari, yang menunjukkan hampir 99 persen warga Sudan selatan memutuskan memisahkan diri dari negara terluas Afrika itu. Sebelumnya tentara selatan menuduh Athor dan tentaranya bertindak atas nama Khartoum dalam usaha mengacaukan wilayah selatan, satu tuduhan yang dibantah keras oleh para pejabat Sudan utara.
Para pengamat mengatakan mempertahankan keamanan di negara selatan yang masih muda itu akan merupakan satu tantangan berat. Bentrokan-bentrokan senjata di negara bagian Nil Hilir yang menghasilkan minyak itu awal bulan ini menewaskan 54 orang dan mencederai 85 lainnya, kata perkiraan PBB, ketika mantan anggota milisi selatan di dalam tentara utara menolak perintah-perintah menyerahkan senjata-senjata mereka.