Kamis 08 Dec 2016 10:45 WIB

Tatkala Seniman Bali Hendak Melampaui Baliseering

Rep: Farid M. Ibrahim - ABC International/ Red:
abc news
Foto: abc news
abc news

Baliseering kerap dimaknai sebagai upaya Belanda di tahun 1920-an dalam memilah-milah budaya Bali yang sesuai dengan kacamata eksotisme orang luar Bali demi kepentingan turisme. Ekspresi budaya yang tadinya merupakan tradisi kehidupan sehari-hari orang Bali, dipilih-pilih sesuai dengan kacamata eksotisme tersebut. Kini, 11 seniman Bali datang ke Melbourne, Australia, dan coba melepaskan diri dari hal itu.

Ke-11 seniman itu adalah Aswino Aji, Art of Whatever, Budi Agung Kuswara, Citra Sasmita, I Made Suarimbawa, Kemal Ezedine, Natisa Jones, Slinat, Valasara, Wayan Upadana, serta Yoesoef Olla. Mereka menggelar pameran bertajuk Crossing: Beyond Baliseering yang berlangsung hingga 16 Desember di galeri Fortyfivedownstairs di pusat Kota Melbourne.

kemal-full1.jpg
Mantra Patah 1 karya Kemal Ezedine. (Foto: Istimewa)

Dalam konteks Baliseering itulah, misalnya, Bali "dijual" dengan eksotisme perempuan bertelanjang dada yang berjalan di pematang sawah yang berundak-undak; atau pada visualisasi karya seni yang memotret lanskap kegiatan budaya dalam bentuknya yang "masih murni".

Kebijakan Baliseering pemerintah kolonial itu menghendaki warga Bali terus mempertahankan seni tari, pertunjukan, lukis, patung dan sastra tradisionalnya. Baliseering pun berubah jadi bingkai yang mematok batasan-batasan ekspresi budaya orang Bali, atas nama turisme.

Pemerintah Negara Bagian Victoria, Australia, tahun ini mencoba menampilkan upaya para seniman kontemporer Bali untuk keluar dari batasan Baliseering tersebut, melalui kegiatan kegiatan Mapping Melbourne 2016.

Citra-Sasmita_TORMENT_2015_mix-media-on-canvas_120-x-150-cm.jpg
Torment karya Citra Sasmita. (Foto: istimewa)

Kegiatan yang sudah digelar empat tahun berturut-turut ini memang bertujuan menampilkan seniman-seniman dari China, Indonesia, Singapura, India, Thailand, Jepang, Vietnam, Malaysia dan Australia sendiri.

Kemal Ezedine mengaku sebagai seniman dia ingin fokus pada bagaimana memahami kesenian Bali di luar batasan Baliseering.

"Memahami kesenian Bali harus dimulai dari sisi sejarahnya," katanya saat berbicara dalam Artist Talk bersama sejumlah seniman Bali lainnya di Asia Centre Melbourne University, Rabu (7/12/2016) malam.

Menurut dia, tantangan para seniman adalah bagaimana melihat kesenian Bali saat ini dan bagi pelukis misalnya, mengubah gambar-gambar menjadi lukisan.

Kemal menilai dampak Baliseering masih sangat kuat hingga dewasa ini, termasuk di kalangan seniman muda.

Budi-Agung-Kuswara-Golden-Farmer_700.jpg
Golden Farmer, 2016, karya Budi Agung Kuswara. (Foto: Istimewa)

Sementara seniman Wayan Upadana mengungkapkan, fokus kreativitasnya adalah memahami posisi Bali dalam globalisasi. Karena itu, karya-karya banyak memainkan idiom-idiom Bali seperti Barong dan Randa, namun dipertemukan dengan arus globalisme yang terjadi.

Serial karyanya yang berbahan coklat misalnya, ada yang menampilkan babi yang sedang merendam di bak mandi dengan judul "Glo-Babi-sation".

"Saya ingin menangkap idiom lokal dan mempertemukannya dengan idom-idom globalisasi," kata Upadana seperti dilaporkan Farid M. Ibrahim dari Australia Plus.

Valasara-Pantagruelisme-2016_700.jpg
Salah satu karya Valasara. (Foto: Istimewa)

Seniman lainnya, Valasara, memaparkan proses kratifnya yang lebih fokus pada upayanya mengeksplorasi medium dan material untuk karya-karya. "Kanvas di mata saya itu bukan hanya medium tapi sekaligus material," katanya.

Karena itu, karya-karya Valasara yang kembali ke Bali setelah menyesaikan kuliah seni di Yogyakarta ini, banyak menggabungkan berbagai material dan tidak berusaha merusak bentuk kanvas dengan melukisinya.

Di sisi lain, Citra Sasmita mengungkapkan sebagai perempuan dia merasakan persoalan dengan sikap mental masyarakat yang mensubordinasi kaum perempuan.

Sebagai seniman perempuan di Bali, Citra mengaku mengalami problem ganda karena di satu sisi karena adanya sikap mental seperti itu serta di sisi lain karena adanya feodalisme yang menempatkan orang berdasarkan kastanya masing-masing.

"Dalam nama lama saya sudah jelas kelihatan bahwa saya dari kasta mana," katanya.

Citra mengaku karya-karyanya merupakan upaya merefleksikan problem yang dialami tersebut dengan menggunakan bahasa global.

budi agung wanita padi.png
Salah satu karya Budi Agung Kuswara. (Foto: istimewa)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement