Jumat 31 May 2019 05:49 WIB

YLBHI Nilai Kepolisian Indonesia Tidak Berimbang Menegakkan Hukum

YLBHI menilai penindakan ini berpotensi mencederai kebebasan berpendapat.

Red:
abc news
abc news

Pegiat hukum dan HAM mendesak Kepolisian RI mengacu pada pedoman Komisi HAM PBB dalam menindak para pelaku penyebaran berita bohong atau hoaks terkait kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta.

Pihak Polri mengaku telah menangkap 10 orang yang langsung dijadikan tersangka penyebar berita bohong dan ujaran kebencian selama periode 21-28 Mei 2019.

"Pelaku ujaran kebencian 21-28 Mei ada 10 tersangka yang sudah diamankan," kata Kepala Biro Penmas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo, Selasa (28/5/2019).

Para tersangka ini memiliki latar-belakang mulai dari politisi, dokter kandungan, pegawai negeri sipil sampai remaja belasan tahun. Mereka ditangkap di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banda Aceh sampai Sorong, Papua.

Polisi menyebut berita bohong yang disebarkan para tersangka juga beragam. Termasuk video yang menyebut adanya personel Brimob dari China mengamankan unjukrasa di depan kantor Bawaslu.

Disebutkan, ada pula tersangka yang menyebarkan provokasi bahwa polisi menembaki massa, menginjak-injak seorang ulama, hingga berita adanya aparat kepolisian yang melakukan sweeping di masjid.

 

Penangkapan para tersangka ini menuai pro dan kontra.

Salah satu yang mendapat sorotan adalah penangkapan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang aktif di sosial media Mustofa Nahrawardaya.

Ia ditangkap polisi pada hari Minggu (26/5/2019) dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Dia langsung dijebloskan ke dalam tahanan polisi.

Warga yang tidak suka dengan cuitan anggota Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno ini menyatakan dukungan atas penangkapan melalui #tangkapMustofaNahra.

Sementara mereka yang kontra mengecam hal itu lewat hastag #BebaskanMustofaNahra.

Dalih Polisi

Pihak Polri menegaskan penindakan para tersangka penyebar hoaks ini sebagai bentuk penegakan hukum dan berdalih hal ini sama sekali tidak politis.

Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Rickynaldo Chairul dalam jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa (28/5/2019) mengatakan dalam kasus tersangka Mustofa, penangkapan itu adalah langkah terakhir.

"Saudara MN ini sudah pernah kami undang, kami panggil ke Kantor Direktorat Tindak Pidana Siber, untuk diajak berkoordinasi, berkomunikasi dan diajak menyampaikan dampak yang akan muncul apabila dia menyebarkan akun-akun yang bersifat negatif. Itu sudah kita lakukan," kata Kombes Ricky.

Kasus hukum yang menjerat Mustofa Nahrawardaya berawal dari cuitannya di akun Twitter @AkunTofa yang mengunggah narasi yang mengabarkan adanya seorang anak bernama Harun (15) yang tewas disiksa oknum aparat.

"Innalillahi-wainnailaihi-raajiuun. Sy dikabari, anak bernama Harun (15) warga Duri Kepa, Kebon Jeruk Jakarta Barat yg disiksa oknum di Komplek Masjid Al Huda ini, syahid hari ini. Semoga Almarhum ditempatkan di tempat yg terbaik disisi Allah SWT, Amiiiin YRA," demikian cuitan @AkunTofa.

Selain narasi itu Mustofa juga melengkapi cuitannya dengan video yang menggambarkan aparat sedang menangkap seorang pria pada aksi massa 22 Mei 2019.

Polisi langsung membantah dengan menyatakan video itu adalah penangkapan terhadap seorang perusuh yang hingga kini masih hidup.

Polisi menjerat Mustofa dengan pasal pidana ujaran kebencian berdasarkan SARA dan/atau pemberitaan bohong.

Dia dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Tak efektif dinginkan situasi

Menanggapi pro-kontra penangkapan sejumlah orang terkait kerusuhan 21-22 Mei 2019, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai penindakan ini kontra produktif dalam mendinginkan situasi.

Lembaganya juga menilai penegakan hukum yang dilakukan polisi tidak berimbang.

"Ini penegakan hukum yang tidak berimbang. Penegakan hukum hanya kepada kalangan masyarakat yang di bawah-bawah," kata Asfinawati.

"Polisi itu terbalik penindakannya. Ada tokoh elit yang ucapannya sudah jelas-jelas sangat jahat dan mengandung diskriminasi rasial dan etnis, itu tidak diapa-apakan. Mungkin karena mereka punya jabatan. Tapi kepada masyarakat yang mungkin hanya ingin menyatakan pendapat, bukan siar kebencian, ditindak dengan tuduhan hoaks," katanya.

 

Asfinawati menambahkan penindakan ini juga berpotensi mencederai kebebasan berpendapat di masyarakat.

YLBHI mendesak agar proses hukum terhadap para tersangka penyebar hoaks tidak hanya didasarkan pada UU ITE.

Sebaliknya, katanya, juga harus mengacu pada pedoman rencana aksi Komisi HAM PBB dalam menangkal kabar bohong dan ujaran kebencian yang dikenal dengan Rabat Plan of Action.

"Rabat Plan ff Action menekankan penyebar hoaks itu harus diproses dengan mempertimbangkan derajat ujarannya, siapa orang yang mencuitkannya, warga biasa apalagi anak-anak harus dibedakan sanksinya dengan pelaku hoaks dan ujaran kebencian yang berstatus pejabat negara karena derajat kerusakannya pasti berbeda," katanya.

"Jadi ada yang memang layak dipidanakan. Tapi ada juga yang mungkin hanya cukup diberi teguran. Kalau memang levelnya cukup serius diharuskan meminta maaf," tambahnya.

Rabat Plan of Action disusun oleh pakar dari seluruh dunia menyikapi krisis global terkait penyebaran ujaran kebencian yang difasilitasi oleh Komisi HAM PBB tahun 2013 lalu.

Dijelaskan, pedoman ini mengamanatkan proses hukum terhadap tindak kejahatan ujaran kebencian harus disandarkan pada pertimbangan kedalaman atau derajat kebencian yang terkandung di dalam pernyataan atau ujaran tersebut.

Dikatakan, hal itu harus diuji melalui 6 elemen yakni konteks pernyataan, pelaku ujaran, intensitas dampak yang ditimbulkan dari sebuah pernyataan, konten dan bentuk ujaran, ekstensifikasi penyebaran ujaran kebencian serta kecenderungan sebuah ujaran bisa memicu tindakan yang merugikan kelompok yang menjadi target dari sebuah ujaran kebencian.

Sementara itu pasca kerusuhan 21-22 Mei 2019, Kementerian Komunikasi dan Informasi menyebut setidaknya 30 kabar bohong beredar di media sosial. Dengan alasan itu, lembaga ini membatasi akses ke media sosial selama 4 hari.

Selama pembatasan akses informasi itu, Kominfo mengaku telah memblokir 2.184 akun medsos dan website di berbagai platform.

Bahkan sejak sepekan sebelum kerusuhan pun, Kominfo juga mengaku telah menutup sekitar 61.000 akun aplikasi WhatsApp yang menurut mereka melanggar aturan.

Ikuti berita menarik lainnya dari situs ABC Indonesia di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement