Rabu 04 Jul 2018 07:08 WIB

PBB: Pengungsi Rohingya Tuntut Hak

Komisaris tinggi PBB menghabiskan dua hari mengunjungi kamp di Bangladesh.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
Pengungsi Rohingya
Foto: ABc News
Pengungsi Rohingya

REPUBLIKA.CO.ID,  ANKARA -- Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi menyatakan hampir tidak mungkin bagi pengungsi Rohingya untuk kembali ke kampung halaman mereka di negara bagian Rakhine jika Myanmar gagal memastikan hak-hak mereka. Warga Rohingya, menurutnya, bukan hanya pengungsi melainkan tidak bernegara dan tanpa kewarganegaraan.

"Mereka ingin Myanmar memberikan hak-hak yang dibutuhkan," kata dia Grandi saat bertemu langsung dengan Juru Bicara Kepala UNHCR Melissa Fleming di Kamp Pengungsi Kutupalong di Bazaar Cox Bangladesh, Selasa (3/7) waktu setempat.

Grandi melanjutkan, ketika para pengungsi ditanya apa yang mereka butuhkan, mereka dengan suara bulat mengatakan bahwa mereka ingin Myanmar memberi mereka hak-hak mereka. "Sangat menarik. Tentu saja, rumah mereka hancur, tanah mereka dirampas dan semua kebutuhan material itu harus dipenuhi," katanya.

"Mereka mengatakan satu hal dengan suara bulat: Kami membutuhkan hak kami. Kami harus bisa bergerak di tanah air kami, kami tidak dapat didiskriminasikan. Di atas segalanya, kami membutuhkan kewarganegaraan," tambahnya.

Warga Rohingya, jelas Grandi, ingin merasakan identitas ketika mereka pulang ke rumah. Namun menurutnya itu sangat sulit. "Jika itu tidak mungkin, analisa saya adalah itu akan sangat sulit," papar dia.

Komisaris tinggi PBB menghabiskan dua hari mengunjungi kamp di Bangladesh, termasuk sehari dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. Grandi pun membandingkan kunjungan terakhirnya ke kamp tersebut pada September 2017.

Menurut dia, kamp itu sekarang jauh lebih teratur. "Ini masih luar biasa. Ini masih menjadi pengungsi terbesar di satu tempat di seluruh dunia," kata Grandi.

Setidaknya 9.400 orang Rohingya tewas di negara bagian Rakhine Myanmar dari 25 Agustus hingga 24 September 2017, menurut Doctors Without Borders. Dalam laporan yang diterbitkan Desember lalu, kelompok kemanusiaan global mengatakan kematian 71,7 persen atau 6.700 orang Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Mereka termasuk 730 anak-anak di bawah usia 5 tahun.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat karena puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.

PBB telah mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh personel keamanan. Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement