Senin 03 Sep 2018 09:33 WIB

PM Bangladesh: Myanmar Tunda Pemulangan Muslim Rohingya

Laporan tim PBB cukup menggambarkan kondisi kekejaman di Rakhine.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Warga Rohingya berdoa dalam peringatan satu tahun kekerasan tentara Myanmar.
Foto: AP Photo/Altaf Qadri
Warga Rohingya berdoa dalam peringatan satu tahun kekerasan tentara Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengatakan, Myanmar menunda proses repatriasi Rohingya tanpa sebab. Hal itu dia katakan setelah kunjungan dua hari ke Nepal untuk menghadiri KTT BIMSTEC (Bay of Bengal Initiative for Multi-Sectoral Technical and Economic Cooperation), blok ekonomi tujuh negara Asia Selatan dan Asia Tenggara.

"Ketika kami berbicara, Myanmar selalu mengatakan siap untuk mengambil kembali warganya. Namun pada kenyataannya, tidak dilakukan," ujar Hasina dikutip laman Andalou Agency, Senin (3/9).

Dia mengatakan, telah membahas mengenai warga Rohingya yang mengungsi di Bangladesh, setelah bertemu Presiden Myanmar Win Myint di KTT BIMSTEC. Myanmar mengakui perjanjian yang telah ditandatangani. "Myanmar mengatakan mereka siap untuk mengambil kembali warga negara mereka," kata Hasina.

Pada Desember lalu, Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian untuk memulangkan Rohingya, namun hingga kini prosesnya belum dimulai. Misi Pencari Fakta Independen PBB terhadap Myanmar mulai dibentuk pada Maret 2017 untuk menyelidiki dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi yang meluas di Myanmar, khususnya negara bagian Rakhine, tempat tinggal kelompok Muslim Rohingya.

Baca juga, Aung San Suu Kyi: Tak Ada Pembersihan Etnis Rohingya.

Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), pada 25 Agustus 2017, Myanmar melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap minoritas etnis Muslim. Akibatnya, hampir 24 ribu warga sipil tewas dan memaksa 750 ribu orang lainnya melarikan diri ke Bangladesh.

Penduduk Rohingya disebut PBB sebagai penduduk yang paling teraniaya di dunia. Penduduknya menghadapi ketakutan tinggi karena puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.

PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak kecil serta pemukulan brutal, dan penghilangan orang yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar. Dalam laporannya, para penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement