Kamis 18 Oct 2018 20:02 WIB

Di hadapan Paus Franciskus, Moon Bicara Perdamaian Korea

Moon menyampaikan undangan kunjungan ke Korut untuk Paus Fransiskus.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in bersalaman dengan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-un di Pyongyang, Rabu (19/8).
Foto: Pyongyang Press Corps Pool via AP
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in bersalaman dengan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-un di Pyongyang, Rabu (19/8).

REPUBLIKA.CO.ID, VATIKAN -- Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in berbicara tentang proses menuju perdamaian di semenanjung Korea di hadapan  Paus. Pidato itu disampaikan sehari sebelum ia menyampaikan undangan untuk Paus Fransiskus agar mengunjungi Korea Utara (Korut).

Sekretaris Kardinal  Pietro Parolin, orang nomor dua di Vatikan, mengatakan Misa di Basilika Santo Petrus ini diadakan untuk Presiden Moon Jae-in dan pihak lainnya. Termasuk Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Vatikan Callista Gingrich dan ratusan warga Korea di Roma.

Setelah "Misa untuk Perdamaian di Semenanjung Korea," Moon berbicara kepada jamaah Misa tentang pertemuan positif baru-baru ini antara dirinya dengan pemimpin Korut Kim Jong-un.

"Saat ini di semenanjung Korea, perubahan bersejarah dan menghangatkan hati sedang terjadi. Kami perintis dalam upaya mulia untuk mengamankan perdamaian," kata Moon.

Korut dan Korsel  telah mengadakan tiga pertemuan puncak pada tahun ini. Kim juga mengadakan pertemuan puncak  dengan Presiden AS Donald Trump di Singapura pada  Juni. Ia berjanji untuk  menuju denuklirisasi di semenanjung Korea.

Moon bertemu dengan paus pada Kamis siang waktu setempat. Ia  diperkirakan akan menyampaikan undangan dari Kim.

Kim mengatakan pada Moon keinginannya untuk bertemu Paus. Paus diperkirakan akan mengunjungi Jepang tahun depan.

Sekretaris Kardinal  Pietro Parolin menyampaikan doanya untuk perdamaian di semenanjung Korea. Perdamaian, katanya, harus dibangun di atas komitmen serius terhadap keadilan dan solidaritas, yang memperhatikan hak dan martabat  manusia.

Konstitusi Korut menjamin kebebasan beragama selama tidak melemahkan negara. Tetapi di luar  tempat ibadah yang dikendalikan negara, tidak ada kegiatan keagamaan terbuka yang diizinkan.

Korut, yang diperkirakan oleh para pejabat Gereja memiliki komunitas Katolik sekitar 55 ribu tepat sebelum Perang Korea 1950-53, tidak memungkinkan para imam ditempatkan di sana secara permanen.

Informasi tentang jumlah umat Katolik yang masih berada di Korut juga tidak diketahui. Badan Keagamaan mengatakan jumlahnya bisa mencapai 4.000. Gereja memperkirakan bahwa 11 persen penduduk Korsel beragama Katolik.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement