Senin 20 May 2019 20:15 WIB

Cina Undang BNPT Kunjungi Kamp Xinjiang

Cina dan Indonesia berbagi pola penanggulangan terorisme di kedua negara.

Red: Nur Aini
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, mengikuti kelas Bahasa Mandarin, Jumat (3/1/2019).
Foto: ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, mengikuti kelas Bahasa Mandarin, Jumat (3/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, TIANJIN -- Pemerintah Cina mengundang jajaran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengunjungi kamp konsentrasi di Xinjiang, Cina.

"Kita diundang kalau mau datang ke Xinjiang untuk melihat bagaimana mereka bangun sistem identifikasi masalah terorisme di sana," kata Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius di Kota Tianjin, Ahad (19/5).

Baca Juga

Undangan tersebut disampaikan saat Suhardi bertemu jajaran pejabat Kementerian Keamanan Negara (MSS) atau semacam badan intelijen Cina di Beijing sebelum bertolak menuju Tianjin untuk menjadi pembicara dalam Simposium Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kawasan Asia-Oseania.

Suhardi mengatakan model penanggulangan terorisme oleh Cina adalah dengan membangun lembaga pelatihan kerja untuk meningkatkan keterampilan masyarakat yang teridentifikasi terpapar paham radikalisme dan ekstremisme.

"Kamp pendidikan seperti itu menjadi kelebihan mereka karena akar masalah terorisme itu adalah ekonomi dan kesejahteraan. Hal ini yang mereka sentuh," ujar jenderal polisi bintang tiga itu.

Dalam pertemuan tersebut, MSS dan BNPT juga berbagi informasi mengenai pola penanggulangan terorisme di kedua negara. Apalagi Indonesia dan Cina, kata Suhardi, juga telah menandatangani naskah kerja sama (MoU) penanggulangan terorisme.

"Banyak hal yang mereka tanyakan mengenai masalah-masalah terorisme. Apalagi ada juga warga sini yang ikut pelatihan di Sulawesi, kita jawab secara proporsional dan prosesnya akan dikoordinasikan dengan Kemenpolhukam dan kementerian terkait," ujarnya mengenai beberapa warga etnis Uighur Xinjiang yang sempat bergabung dengan kelompok terorisme pimpinan Santoso di Poso, Sulawesi Tengah.

Suhardi menyatakan bahwa pola yang kamp pendidikan dan pelatihan vokasi di Xinjiang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia karena faktor penyebab tumbuhnya radikalisme dan terorisme berbeda dengan di Cina.

"Varian (terorisme) di kita banyak sekali. Masalah kesejahteraan, masalah pendidikan, masalah pemahaman agama itu yang mesti kita sentuh," katanya.

BNPT selama ini melakukan pendekatan yang lebih manusiawi kepada kelompok atau tokoh masyarakat yang pernah terlibat aksi terorisme di Indonesia. Salah satunya adalah dengan memperbaiki masjid dan mendirikan Taman Pendidikan Al Quran (TPS) atau lembaga pendidikan lain di desa atau kawasan yang teridentifikasi sebagai basis pembibitan radikalisme dengan memberikan pendidikan wawasan kebangsaan, seperti di Desa Tenggulun, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, dan Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Saat ini BNPT sedang memperbaiki sarana ibadah dan lembaga pendidikan agama serta infrastruktur di beberapa desa lain di Nusa Tenggara Barat dan Sulteng.

"Di tempat-tempat tersebut sekarang sudah bisa dilihat, setiap Senin sudah ada upacara pengibaran bendera Merah-Putih," kata mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri itu.

Pihak MSS, kata Suhardi, mengapreasiasi penanggulangan terorisme yang telah dilakukan BNPT bersama 36 komponen lainnya.

"Saya sampaikan update bagaimana kita melakukan pendekatan soft power yang berperan menanggulangi terorisme. Para terorisme jangan dimarjinalkan, tapi harus kita berdayakan, bahkan kita gunakan sebagai narasumber. Mereka (pihak MSS) juga mengapresiasinya," katanya.

Sebelumnya, beberapa perwira di jajaran Mabes Polri bersama para tokoh organisasi kemasyarakatan dan keagamaan di Indonesia juga telah mendapatkan kesempatan mengunjungi kamp vokasi di Xinjiang menjelang akhir Maret 2019.

Kamp yang dimaksudkan untuk program deradikalisasi etnis Uighur di provinsi paling barat Cina itu mendapatkan sorotan dan kecaman dari aktivis HAM PBB dan parlemen di negara-negara Barat. Kamp dianggap sebagai kedok atas upaya Pemerintah Cina memperkusi masyarakat Uighur.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement