REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK-- Pemimpin Libya Mohammed Magarief secara pribadi meminta ma'af kepada Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, Senin (24/9), atas serangan bulan ini terhadap Konsulat AS di Benghazi, sehingga menewaskan empat warganegara Amerika. Ia berjanji pemerintahnya akan menyeret para pelaku serangan ke pengadilan.
"Apa yang terjadi pada 11 September terhadap warganegara AS tak menunjukkan nurani rakyat Libya, aspirasi mereka, harapan mereka atau perasaan mereka terhadap orang Amerika," kata Magarief, pemimpin Kongres Nasional Libya, kepada Hillary dalam pertemuan di sisi konferensi Sidang Majelis Umum PBB di New York.
"Tentu saja kami menyampaikan kesiapan besar untuk bekerjasama dengan pemerintah AS guna mengkoordinasikan penyelidikan dan menyeret para pelakunya ke pengadilan," katanya.
Para pejabat AS dan Libya telah berjanji untuk tidak membiarkan hubungan tergelincir oleh serangan terhadap Konsulat AS di Benghazi, yang menewaskan Duta Besar AS Christopher Stevens dan tiga lagi warganegara Amerika dalam insiden yang disebut Washington sebagai "serangan teror".
"Di atas semuanya, (Magarief) dan pemerintah Libya telah menjadi mitra kuat bagi Amerika Serikat," kata Hillary pada awal pertemuan langsung pertamanya dengan pemimpin Libya tersebut, Senin (24/9). Magarief terpilih sebagai pemimpin Libya pada Agustus.
"Keberanian telah menjadi ciri khas rakyat Libya selama dua tahun belakangan ini. Keberanian untuk bangkit dan menggulingkan diktator, keberanian untuk memilih jalur berat demokrasi, keberanian untuk menentang kekerasan dan perpecahan di negeri itu dan dunia," kata Hillary.
Pekan lalu, Magarief mengatakan sebanyak 50 orang telah ditangkap sehubungan dengan serangan di Benghazi, kendati menteri dalam negerinya menyebutkan angka yang jauh lebih sedikit. Magarief menyatakan sebagian orang yang ditangkap bukan warganegara Libya dan berkaitan dengan Alqaidah yang dituduh melancarkan serangan 11 September di Amerika Serikat pada 2001. Amerika Serikat dan Libya sedang menyelidiki serangan di Benghazi.