Rabu 11 Mar 2015 03:23 WIB

Pemenang Nobel: Soal Nuklir, Jepang Harus Tiru Jerman

Rep: c65/ Red: Agung Sasongko
Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang, Toshimitsu Motegi (helm merah) di situs nuklir Fukushima Dai-ichi, 26 Agustus 2013. Tingkat radiasi di PLTN ini mengkhawatirkan karena 18 kali lebih tinggi dari perkiraan.
Foto: Tokyo Electric Power Co via AFP
Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang, Toshimitsu Motegi (helm merah) di situs nuklir Fukushima Dai-ichi, 26 Agustus 2013. Tingkat radiasi di PLTN ini mengkhawatirkan karena 18 kali lebih tinggi dari perkiraan.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pemenang Nobel sastra, Kenzaburo Oe meminta Jepang untuk menghentikan beberapa reaktor nuklir setelah bencana Fukushima yang terjadi beberapa waktu lalu dan menyebabkan krisis lain. Ia juga mendesak Perdana Menteri Shinzo Abe untuk mengikuti Jerman dan secara bertahap menggunakan energi atom.

Hal itu diungkapkan Oe sehari setelah mengunjungi Kanselir Jerman Angela Merkel. Bahkan, Jerman berencana mengakhiri penggunaan tenaga nuklirnya pada 2022 mendatang. Alasannya, krisis Fukushima yang meyakinkan negara Eropa tersebut akan besarnya resiko yang dihasilkan.

Namun Abe justru mengaskan bila Jepang masih membutuhkan tenaga nuklir sebagai sumber energi yang stabil. Ia mengatakan bila kini negaranya telah belajar dari bencana Fukushima dan meningkatkan standar keselamatannya.

Oe menilai kepemimpinan yang kontras dari dua politisi tersebut. "Politisi Jepang tidak berusaha mengubah situsai tetapi hanya menjaga status quo bahkan setelah kecelakaan nuklir besar ini, dan bahkan jika kita semua tahu bahwa belum kecelakaan lain hanya akan menhapus masa depan Jepang," ujarnya.

Tiga inti reaktor di pabrik Fukushima meleleh setelah gempa bumi dan tsunami Maret 2011 lalu. Rekator tersebut menyebarkan radiasi di luar kompleks dan memaksa lebih dari 100 ribu orang mengungsi. Sejumlah besar air yang terkontaminasi di pabrik menghambat upaya pembongkaran. Diperkirakan, butuh waktu puluhan tahun untuk  menonaktifkannya.

Kini, lelaki berusia 80 tahun tersebut ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk berjuang membebaskan dunia dari nuklir. "Kita tidak harus meninggalkan masalah PLTN bagi generasi muda," katanya.

Pemenang Nobel satra pada 1994 tersebut telah berkampanye untuk perdamaian dan anti nuklir terutama sejak krisis Fukushima dan sering muncul dalam aksi unjuk rasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement